Friday 26 December 2014

Beautifully Quirky Haruki Murakami's

It's already half past three and I'm still trying to write this post. I'd choose to sleep right about now, but what I'm going to discuss is way more intriguing than sleeping. I've finished some books these couple of weeks but what I do really like to review is about another Murakami's. This is what I mean, an ideal-christmast-gift that every book reviewers have been talking about this month!

The Strange Library - Haruki Murakami's lastest book

It took almost 2 weeks before I finally could get a copy of this book. I ordered by phone from a book store at my campus library but then I realized that they didn't take any note about the book which I ordered. So I came a week later and made sure that this time they would save a copy for me. When I finally got a call from the book store to pick up the book, I was flustered by choosing which one of version that I wanted to buy. I asked the store assistant what's the difference between the hardcover and the paperback edition. Both editions have some colourful pages--I can saw it right away on the side of the book though it's sealed. I learnt that the hardcover version (with magenta cover) is the UK edition and the paperback's US edition (the one that I finally bought). You can check this link for further reference about both editions.

And, yes I love the book!
Before going to the writing aspect I'd love to tell you that Chip Kidd's did very well with the whole design and illustrations. It's like a book from my childhood in which I can find a page of illustration to every full page of words. Actually, I was in doubt to purchase this book because it's a bit pricey for a 90-something pages book. I could buy others a brick thick book if I want-- Colourless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimare or Aldutery by Paulo Coelho would do. This book without any of the illustrations would be just a short story. But yes with this kind of design, I think it's worth every penny.

Even with a concept of childreen book, I still completely disagree with those who say this book is intended for kids. Actually I don't even know what they called as "childreen book" because the original story about Cinderella and others also have its dark sides. I don't think this book is a childreen book more like because it's Murakami's! Ha! Whether there will be any hidden meaning or value beyond the methaporical words that Murakami usually does, but ya, this book still has those subconscious things that Murakami loves. But maybe if someday I have a child who has an old soul inside her/his 4 y.o figure, I'll read her/him this book once in a while when I'm out of story to tell.

A little boy is the center of the story. He resembles me--and may be you--in some aspects. He's an obedient child who always says yes to every order that others people told him to do. Even when he doesn't like the idea. He just wants to make other people happy. Even when it means that he has to sacrifice himself. He likes to be praised. Even because of doing something he doesn't like. For me he's more like a conformist and naive side of us. Okay, of me.

If you want to know the plot, it will be easier to read the link I've put before. You will find an old man with a willow switch, a man dressed in a sheep outfit, a ghostly girl, the boy's mom, a starling, a black mysterious dog, and some mouth watering food descriptions. And oh! Don't forget to read the ending of the story. It's printed in smaller typewiter text on the next page. It's like the boy had been through a nightmare for me. The realistic one.

Ask me about how I personally feel when I was reading the book! (Would you?)
This book is absolutely weird, quirky, dark, elusive, and surreal. But, that's why I love it as much as I love Kafka on The Shore. For me, the book gives me the idea about starting to live in this messy world. When we are young, we should be careful about what we want to learn and know. Every source of knowledge about wrong or right lays beyond dimension of black and white. It's in the dimension of flexibility. In the end we have to learn by ourselves what's right and wrong. What's exist and disguise. What we really want and don't want. Because nobody will always be there to lead the journey. Giving order. Drawing the line. Or watching us out.

So, whether you want to purchase a copy or just borrow this from your friend, if you're a Murakami's fan, then have a happy beautifully quirky way of reading!



The Strange Library
Fiction
by Haruki Murakami
96 pp. Alfred A. Knopf. $18.

Saturday 13 December 2014

"Dude, your perspective on life sucks!"

Judul di atas adalah potongan monolog di awal lagu "Blame It on The Girls" yang dinyanyikan oleh Mika.
Nggak akan saya bahas judul lagunya karena inti dari posting kali ini bukan tentang itu.
Berawal dari ajakan seorang teman untuk ikut menjadi relawan di salah satu daerah bencana, saya jadi banyak belajar mengenai perspektif dari pengalaman yang saya dapat di minggu ini.
Bukan. Bukan belajar mengenai bagaimana menjadi relawan yang baik, hectic-nya persiapan, kondisi sosial di penampungan, atau arti upaya saling membantu diantara umat manusia karena pada akhirnya saya juga nggak jadi berangkat ke sana.
Kenapa nggak jadi? Nggak akan saya bahas juga. Hihihi nanti kepanjangan.

Pada intinya saya diajak gabung ketika H-3 keberangkatan teman-teman ke daerah bencana yang dijanjikan panitia.
Saya ikut meeting dan ketemu beberapa orang dari berbagai latar belakang seperti jurnalis, praktisi, fotografer, dan mahasiswa.
Saya yang nggak tau apa-apa ini jadi diem aja di sana dan lebih banyak mendengarkan.
Sebelumnya saya sempat mengirim CV ke panitia untuk kelengkapan data pribadi.
Nah, mulailah salah satu orang menunjuk-nunjuk saya dan menghubungkan saya dengan komunitas yang pernah mengadakan pelatihan menulis dan berpikir kreatif yang dulu saya ikuti.
Saya pikir, Oh mungkin tahu dari CV saya. 
Saya cuma ketawa-ketiwi mereka ngomong ini-itu dan salah satu yang saya ingat adalah celetukan tentang komunitas tersebut salah arah dan saya adalah korban dari kesalaharahan yang diajarkan.
Saat itu saya masih ketawa-ketiwi. Lucu. Dan masih ingin mendengarkan.

Lalu ngobrol-ngobrol lagi dan saya yang duduk di paling pinggir seolah diajak bicara--padahal saya nggak denger dan lagi makan--dan mereka pun merespon dengan menghubungkan saya dengan institusi tempat saya magang dulu.
Ah yaudah kamu kan orang **** pasti pernah
Kutipan di atas adalah kira-kira pada intinya mereka berkata demikian. Saya juga nggak ngedengerin amat. Tapi kalau nggak salah mereka sedang membahas pekerjaan yang akan dilakukan ketika telah berada di daerah bencana nantinya.

Setelah makan, foto-foto, dan dikasih tau ini-itu persiapan pergi, kami pun pulang.
Beberapa ingin melanjutkan diskusi materi program di daerah bencana yang akan diberikan.
Tapi saya menolak bergabung karena besoknya masih hari kerja.
Seseorang menanyakan dimana saya bekerja.
Setelah saya jawab ia lantas mengatakan bahwa metode yang digunakan kantor saya tidak disertai argumen yang jelas cara pengumpulan datanya dan dasar argumennya cenderung dibelokkan ke arah keagamaan.
Ia juga menghubungkan saya dengan salah satu kandidat calon presiden di Pilpres lalu karena saya bekerja di kantor yang kata dia turut memenangkan salah satu kandidat.
Saya nggak paham. Dan saya rasa nggak begitu. Saya diem aja ketawa-ketawa mendengarkan.
Di sesi foto sebelumnya sempat ada joke bahwa pendukung salah satu kandidat presiden juga nggak boleh ikutan foto bersama.
Tambah nggak paham.

Setelah malam itu saya mulai mencari tahu tentang kenapa mereka mengatakan komunitas tertentu tersebut salah arah. Saya baca halaman yang pernah di-share senior saya yang mengutip bahwa dua lembaga--termasuk salah satunya komunitas yang saya maksud--adalah lembaga sampah.
Saya paham sedikit-sedikit bahwa intinya adalah pemikiran orang yang mengatakan demikian dan pendiri lembaga-lembaga tersebut berbeda.
Saya mulai mencari lagi tentang apa itu ideologi dan secara lebih khusus sosialis komunis dan liberalisme.
Setelah tanya sana-sini akhirnya saya paham apa yang diperdebatkan.
Perbedaan ideologi yang pada akhirnya memengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan menilai orang lain.
Bahkan dalam versi radikalnya memusuhi, menyakiti, menghancurkan, dan terakhir yang sering kita lihat akhir-akhir ini adalah membumihanguskan.

Hal yang membuat saya bingung adalah bagaimana seseorang dapat dengan mudah melabel dirinya sendiri bahkan orang lain dengan ideologi tertentu.
Okelah kalau orang lain tersebut memang terang-terangan dari sumsum tulangnya menyetujui dan mengamini sampai di setiap aliran darahnya suatu ideologi.
Nah kalau orang macam saya?
Saya yang bahkan harus tanya dan cari sana-sini tentang dasar ideologi sudah diidentikkan dengan ideologi tertentu dalam satu pertemuan?
Lucu.

Hanya karena saya mengikuti suatu acara yang dibuat suatu komunitas tertentu, pernah bekerja di tempat tertentu, berteman dengan orang tertentu lantas saya identik dengan ideologi mereka?
Saya rasa perlu dipikirkan lagi.
Bagi saya, saya hanya ingin belajar. Baik ideologi A, perspektif B, paham C yang dimiliki oleh orang-orang yang saya kenal.
Saya tidak lantas mengamini dengan mata tertutup hal-hal tersebut.
Saya sendiri tidak melabelkan suatu ideologi pada diri saya.
Kalau orang lain memberikan label tersebut ya terserah, saya tidak masalah.
Karena pada dasarnya ketika seseorang diberikan label sesuatu, saya pikir kebebasan yang dimilikinya pun akan terkurung.
Yang paling utama adalah kebebasan untuk banyak belajar lagi.
Pengalaman saya, orang-orang yang telah melabelkan dirinya dengan ideologi tertentu akan cenderung menutup diri dari ilmu-ilmu baru yang bisa dipelajari dari ideologi lain.
Hal ini karena sudah menganggap ideologinya paling ideal. Paling benar.
Tidak masalah sebenarnya berpikir demikian, tapi ketika pemikiran itu membatasi seseorang untuk tidak mau tahu tentang orang lain, merugikan orang lain, bahkan menyakiti orang lain
Bagi saya itu masalah lain yang timbul atas diri anda dan ideologi yang anda sayang-sayang.

Lantas saya ini apa?
Saya juga tidak tahu.
Yang jelas saya masih belajar.
Meskipun saya jelas memiliki nilai mengenai salah dan benar menurut saya sendiri.
Contohnya kekerasan bagi saya salah, memaksakan kehendak pun demikian.
Kemiskinan, diskriminasi, pembatasan akses yang setara bagi saya masalah.
Hal-hal mendasar tersebut yang bagi saya menuntun saya menjadi saya yang sekarang.
Terlepas dari ideologi atau label-label yang orang-orang lekatkan dengan saya.


Akhirnya saya pun menemukan kutipan Soe Hok Gie yang rasanya sejalan dengan apa yang saya rasakan :

“Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka” 

Tuesday 2 December 2014

The Great B

Rasanya lama sekali nggak baca buku.

Baca buku di sini maksudnya buku-buku diluar buku teori dan tugas-tugas kuliah.
Oleh karena itu sebulan terakhir ini saya jadi rajin cari-cari buku bagus untuk dibeli--dan dibaca tentunya.
Beberapa buku saya beli di toko buku dan beberapa lainnya saya sengaja beli online karena memang lagi cari cetakan tertentu atau sudah nggak dijual di toko buku. 

Beberapa buku yang saya beli sebulan terakhir

The Great Gatsby adalah salah satu buku yang sudah selesai saya baca.

Awalnya saya penasaran sekali dengan beberapa buku klasik yang dipajang di salah satu toko buku.
Harganya yang termasuk murah (Rp 50.000 untuk satu buku klasik impor) bikin saya agak bingung juga untuk memilih buku yang akan saya beli.
The Great Gatsby akhirnya saya pilih karena salah seorang teman pernah bercerita tentang banyaknya intrik di dalam kisah si tokoh Gatsby ini.
Karena merupakan karya klasik, cukup banyak kata-kata yang harus saya coba tebak maksudnya. Tapi menyenangkan sekali karena The Great Gatsby menjadi tulisan yang turut memperkaya pembacanya tentang budaya Amerika di tahun 1920-an. Baik dari penggunaan bahasanya maupun setting tempat yang setelah saya cari tahu ternyata memang benar ada di masa si penulis hidup. 
Dengan baik hatinya, buku terbitan Williams Collin ini juga menyertakan latar belakang hidup si penulis yakni F. Scott Fitzgerald yang sejujurnya nggak jauh tragisnya dari kisah yang ia tuliskan. Sejarah sosial budaya masa itu dipaparkan di pendahuluan supaya pembaca lebih memahami ketika mulai membacanya. Kamus mini tentang kata-kata di tulisan klasik dapat ditemukan di bagian belakang buku.
Untuk yang sudah pernah nonton filmnya pasti tau bagaimana kisah Gatsby dan ambisinya mendapatkan mantan kekasihnya kembali. Saya pun nggak akan repot-repot mencari celah dari bagaimana Fitzgerald menuturkan kisah ini. Well, clasic is clasic because there's something about it.

Menariknya, buku selanjutnya yang saya baca kemudian mengingatkan kembali pada The Great Gatsby.

Perempuan Bernama Arjuna karya Remy Sylado. Saya beli ketika sebenarnya saya sedang tidak ingin membeli buku. Niat awal hanya menemani kawan yang mencari card holder dan berakhir pada saya yang belanja lebih banyak. Penyakit yang nggak pernah sembuh dari dulu. 
Dan tanda di sampul buku yang menunjukkan bahwa ini bukan bacaan ringan memang terbukti sepesekian detik setelah saya selesai membaca paragraf pertama.
Filsafat yang dikemas dalam fiksi.
Tokoh sentral adalah Arjuna, perempuan yang sedang melanjutkan studinya tentang teologi di Belanda.
Ketika Pada awal buku saya menemukan satu kutipan yang kembali mengingatkan saya pada tokoh Gatsby.
Perempuan Bernama Arjuna, Remy Sylado

Tidak ada yang abadi terkecuali ambisi.
Ambisi ini juga yang pada akhirnya menjadi awal bagi berakhirnya kisah tokoh Gatsby. Apa yang Gatsby rasakan dan kemudian mempengaruhi bagaimana ia bertindak bagi saya adalah cerminan dari sebuah ambisi. Ambisi memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membuat seseorang mencapai apa yang diinginkankannya. Pun dengan Gatsby. Hanya dalam waktu beberapa tahun ia mampu berlari menaiki anak-anak tangga abstrak yang membatasi dirinya hidup bersama kekasih impian.
Abstrak karena hanya ada di dalam pikiran orang-orang.
Namun, nyata karena sedemikian mempengaruhi seseorang memperlakukan orang lain dari lantai yang berbeda dengan dirinya.
Kekuatan yang sama pula yang pada akhirnya menghancurkan Gatsby pada akhir kisahnya.

November

Selalu menjadi bulan yang tidak pernah saya perkirakan terjadi hal-hal besar dalam hidup saya.
Setelah hampir 10 tahun pun akhirnya saya dihadapkan dengan pembicaraan mengenai apa yang saya tahu tetapi saya memilih untuk tidak terlalu terlibat di dalamnya.
Ambisi-ambisi orang lain untuk memiliki kebahagiaan rasanya lekat dengan ego masing-masing dalam mendefinisikannya.
Ketika pemahaman orang lain berbeda dengan apa yang dimiliki, mereka bukan lagi sumber dari kebahagiaan yang dicari.
Padahal sekali lagi, menjadikan orang lain sebagai sumber kebahagiaan tidaklah berlangsung abadi.
Maka pada November ini, saya pun memilih untuk mengikuti apa yang saya rasa benar untuk jalani.
Tidak lagi mengatakan "Iya" agar menyimpan ruang orang lain tetap di sisi.
Setidaknya ketika yang lain pergi, saya tidak akan kehilangan diri saya sendiri. 

Wednesday 29 October 2014

Avocado Mask

Hasrat membeli alpukat ketika mampir ke salah satu supermarket muncul karena saya pikir lucu kali ya, bikin sarapan pake pouched egg sama alpukat.
Karena saya penggemar berat telur, sarapan kesukaan saya pun nggak jauh-jauh dari telur.
Dua bulan terkahir saya selalu sarapan gado-gado di kantor dan bapak penjualnya nggak pernah lupa naruh telor rebus di piring saya.
Akhirnya saya belilah 2 buah alpukat yang warnanya ijo cakep dan berharap bisa dimakan beberapa hari kemudian.

Tetapi impian sarapan cantik ala barat pun terhalang berbagai alasan.
Pertama, di suatu malam saya kelaperan berat dan beli makan udah nggak mungkin karena kosan udah dikunci.
Satu-satunya makanan di kosan cuma tinggal 2 buah alpukat yang saya beli di supermarket.
Akhirnya saya ngerebus 1 butir telur dan ngupas 1 buah alpukat yang kecil.
Telur udah jadi dan alpukat udah dikupas.
Nggak ada curiga sama sekali.
Setelah alpukat gigitan pertama masuk mulut, baru kerasa kok ada yang beda.
Alpukat yang saya makan keras banget!
Rasanya pun jadi kaya jambu biji.
Ehek. Gagal lagi rupanya milih buah.
Saat itu juga saya telpon rumah dan ngadu ke Ibu saya kenapa alpukat yang saya pilih rasanya nggak enak.
Ibu saya pun ngejelasin kalo pilih alpukat jangan yang warnanya ijo cerah.
Yang mungkin udah matang dan siap makan adalah yang warnanya merah-kehitaman.
Saya nggak ambil yang begitu karena saya pikir udah mau busuk.
Ah yasudah...
Alhasil saya bingung mau saya apakan alpukat satu mangkuk itu.

Saya pun kepikiran untuk bikin masker muka pakai alpukat yang gagal dimakan.
Setelah saya uleg-uleg pake uleg-an yang dibawain Ibu saya ketika pindah kosan, jadilah alpukat itu mirip bubur.
Eh tapi nggak juga, karena emang hasilnya masih agak kasar.
Nggak tau kenapa saya nggak enak aja liat alpukat yang di jadiin selembut jus.
Saya tambahin satu sendok makan olive oil dan paraaa~~~ jadilah masker alpukat!
Maskernya saya ratain dimuka dan diamkan selama sekitar 20 menit.
Setelah itu cuci muka dan usap pakai handuk lembut.
Hasilnya?
Muka jadi lembuuuuut banget dan terasa lebih lembab.
Beberapa manfaat yang saya tau tentang masker alpukat ini adalah : mencerahkan, melembabkan, mengurangi garis halus pada kulit.
Selain dimuka, saya juga oleskan masker ini di kulit kaki.
Seringnya pakai sepatu terbuka bikin kulit kaki saya cepat kering dan terbakar matahari.
Harapannya supaya kulit kaki jadi lebih terhidrasi hihi.
Adakah yang pernah coba?


PS. dalam menulis ini saya jadi mikir alpukat di KBBI tulisannya gimana ya. Ternyata yang benar avokad bukan alpukat. Karena tulisan ini pakai bahasa percakapan, saya tetap menggunakan kata alpukat.

Sunday 26 October 2014

Norwegian Wood

Hari ini saya membaca ulang salah satu buku Haruki Murakami, Norwegian Wood. Yang saya baca adalah terjemahan bahasa Indonesia-nya. Tidak lain karena yang bisa saya pinjam sebatas yang edisi bahasa Indonesia. Sebetulnya saya suka baca novel terjemahan yang mana saja. Kalau memungkinkan akan saya baca dua versi bahasa karena pasti ada saja yang menarik jika dituliskan dalam (misalnya saja) bahasa Indonesia dan begitu pula bahasa Inggris. Beberapa ungkapan akan berbeda dan membuat kaya masing-masing versi terjemahan. Tapi untuk Norwegian Wood saya memang baru membaca versi ini. Untuk Kafka on The Shore (yang masih saya usahakan untuk selesaikan) saya membeli yang bahasa Inggris. Sedangkan untuk 1Q84 (yang merupakan pemberian dan belum saya baca) saya memiliki versi bahasa Indonesia kembali.

Norwegian Wood bagi saya merupakan pembuka yang ringan untuk mengantarkan saya pada karya-karya Haruki Murakami berikutnya. Kalau dapat saya istilahkan mungkin seperti Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Tapi tentu saja berbeda dalam berbagai aspek perbandingan. Bagi saya Norwegian Wood masih memiliki benang merah dari beberapa karya Haruki Murakami, sehingga tidak sekadar "ringan". Kesendirian, yang saya maksudkan. Memang saya baru membaca beberapa karya Haruki Murakami, untuk novel baru Norwegian Wood dan Kafka on The Shore. Sedangkan cerita pendek saya sudah membaca beberapa diantaranya. Yang sering saya temukan adalah sisi kesendirian yang diangkat oleh karya-karyanya.

Norwegian Wood ini yang jelas sekali menggambarkan kesendirian tersebut. Bagaimana kematian dan perpisahan kerap menghampiri orang-orang terdekat Watanabe adalah contohnya. Sosok Watanabe sendiri pun digambarkan sebagai seseorang yang tidak terlalu banyak berpikir untuk bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Ia hanya memiliki beberapa "teman" dan dengan merekalah kisah-kisah dalam buku ini diuraikan.

Haruki Murakami selalu kaya dengan penggambaran setting dan membangunnya dengan sangat detail. Bagi yang tidak sabar tentu akan sering melompati paragraf-paragraf mengenai hutan pinus, stasiun kereta, ataupun deretan toko-toko yang berjajar di dekat asrama tempat Watanabe tinggal. Bagi yang suka untuk mem-visualisasi hal ini akan sangat menguntungkan. Alur cerita akan terbentuk dengan setting yang jelas dan pembaca tidak dibuat bertanya-tanya sedang dalam kondisi apa dan di mana para tokoh berbicara. Bahkan merasakan betul apa yang dituliskan Murakami tentang sumur tua di perbatasan padang rumput dan hutan lebat di sebelahnya. Seolah nyata.

Hal lainnya adalah bagaimana Murakami seakan selalu membaca pikiran saya dengan menuliskannya dalam kata-kata pada karyanya. Misalkan ketika Naoko mengatakan bahwa apa yang ia katakan bukanlah apa yang ia maksudkan dan terkadang malah bertambah buruk ketika ia ingin memperbaiki kata-katanya. Hal-hal seperti ini adalah hal yang sering kali ditemukan dan lekat dengan keseharian tetapi jarang diangkat dalam sebuah karya tulisan. Murakami meraciknya dengan apik, sehingga enak dibaca dan ia berhasil membaca pikiran saya sebagai seorang pembaca.

Karya-karya yang sederhana dan menggambarkan kehidupan sehari-hari seperti ini terkadang menjadi terlalu membosankan untuk dinikmati. Hal ini juga terjadi pada misalnya saja sebuah film yang pernah saya tonton berjudul "Come Rain Come Shine". Film produksi Negeri Gingseng ini kebanyakan dikomentari sebagai film "garing" oleh beberapa teman saya. Bagi saya sebenarnya film ini cukup bagus. Menceritakan kegetiran pasangan suami istri yang akan berpisah. Sederhana tetapi begitu nyata. Dalam durasi kurang lebih 2 jam hanya diceritakan bagaimana seorang istri menyampaikan pada suaminya bahwa ia akan meninggalkan rumah dan meminta untuk berpisah. Sang suami tidak mengatakan keberatannya, ia malah membantu si istri untuk mengemasi barang-barang kesukaannya untuk dipindahkan ke rumah si istri dan kekasih barunya. Tapi pada beberapa sisi, terlihat betul bagaimana si suami sangat mencintai istrinya dan hanya menginginkan yang terbaik untuk si istri. Kejerian istri pun terlihat ketika suaminya tidak menunjukkan rasa keberatannya sama sekali.

Norwegian Wood bagi saya demikian. Lebih membumi dengan tidak terlalu banyak metafora. Hal-hal yang kerap ditemui pada kehidupan pembaca sehari-hari. Kematian, kesendirian, perasaan ditinggalkan yang tidak mau hilang. Tentu hal ini juga dikemas dengan kultur masyarakat Jepang yang begitu kental. Seks, kegamangan untuk memilih, alkohol, merupakan sisi-sisi lain yang melengkapi kisah ini.

Satu hal yang paling saya sukai adalah diangkatnya cerita tentang "kemiringan" yang sebenarnya dialami oleh semua manusia. Kita tidaklah normal bagi saya, jadi apa yang sebenarnya dihakimi oleh orang-orang yang menganggap dirinya normal? Jika boleh saya mengutip perkataan tokoh Reiko dalam novel ini, "Yang waras dari kami.....Adalah kami tau bahwa kami tidak waras" (283).

Monday 13 October 2014

Belajar

Hari ini saya tiba-tiba teringat beberapa hal dari kejadian beberapa hari dan beberapa bulan yang lalu.

1. Beberapa bulan yang lalu
Skripsi dan beban untuk segera menyelesaikan kuliah tepat waktu adalah salah satu titik yang pada akhirnya bisa saya lalui. Nggak gampang karena dosen pembimbing saya perfeksionis sekali. Benar-benar melihat usaha mahasiswinya untuk mengejar subjek dan membaca semua literatur. Tapi saya merasa beruntung karena pada akhirnya memang perjuangan yang dilewati setimpal dengan kepuasan setelah semuanya selesai. Kerja keras nggak pernah mengkhianati itu yang saya pelajari. Selain itu saya juga belajar untuk berargumen dengan dasar dalam proses penulisan skripsi saya. Saya dengan beberapa kelompok teman merupakan orang-orang yang suka berdebat. Apa saja bisa dijadiin bahan debat. Bukan debat dengan bahasan yang berat-berat. Kadang kala ngedebatin barang A yang dijual di toko B (menurut saya) atau di toko C (menurut teman lain). Jatuhnya memang jadi ngeyel alias debat kusir hehehe. Walaupun setelah skripsi pun saya dan beberapa teman masih melakukan hal demikian, tapi saya jadi sadar. Bahwa apapun argumen kita terhadap suatu hal, asalkan ada dasar dan pembuktiannya, maka boleh saja kita mempertahankan pendapat yang dikemukakan. Ini juga menjadi salah satu hal yang paling menyenangkan dari mempelajari ilmu di jurusan saya. Kebenaran tidak selalu mutlak. Seperti yang dijelaskan salah satu dosen saya mengenai Dialektika Hegel. Sudut pandang yang berbeda-beda bisa saja menghasilkan atau didasari kebenaran yang berbeda-beda pula. Disinilah menariknya, berbagai macam sudut pandang dapat digunakan untuk melihat satu hal yang sama. Saling menggenapkan. Jadi intinya (yang saya pelajari dari dosen pembimbing saya) berargumenlah, dengan dasar dan jusifikasi yang benar. Maka kamu tidak akan pernah salah hehehe. Tapi sekali lagi, untuk dapat benar-benar mempraktekkannya, perlu lawan bicara yang juga berhati lapang dan berpikiran terbuka dalam artian memahami bahwa kebenaran juga tidak absolut. Sehingga jika lawan bicara kita memiliki pandangan lain, maka ia akan tetap menghargai pendapat kita. Sepakat untuk tidak sepakat pun terjadi tanpa debat kusir panjang.

2. Beberapa hari yang lalu
Masih berhubungan dengan teman saya yang suka berdebat nggak penting sama saya hahaha. Saya lupa awalnya kami sedang bahas apa. Oh! Saya ingat! Jadi ceritanya teman saya baru saja pindah dari kosan lama ke kosan baru. Saya dan teman yang lain pun sedikit (banget) bantu-bantu. Setelahnya kami ngobrol sana-sini dan sampailah saya ngebahas pernikahan George Clooney dan Amal Alamuddin yang bertempat di Venice. Dua hal yang penting di sini: saya kagum sama Amal Alamuddin yang memang nggak usah ditanya lagi prestasinya di dunia internasional, selain itu juga pernikahan di Venice yang kayanya bikin ngiler semua orang. Venice sepertinya sudah menjadi negara urutan pertama yang sangat ingin saya kunjungi (setelahnya baru Ethiopia karena makanannya yang kaya rempah!). Membahas Venice, teman saya yang kosnya pindah ini bertanya berapa persen daratan dan perairan di Venice. Saya jawab saya tidak tahu. Teman saya bingung bagaimana mungkin saya ingin sekali ke Venice tetapi tidak tahu bagaimana kondisi Venice. Saya berhenti makan saat itu juga dan mikir. Hmm, sejauh ini saya sudah berkali-kali buka Wikipedia dan website travel lainnya untuk tahu sedikit-sedikit tentang Venice, tapi saya nggak kepikiran untuk tahu berapa bagian daratan dan perairan di sana. Yang saya tahu jelas adalah setiap tahun bangunan-bangunan disana semakin tenggelam dan beberapa kali mengalami banjir besar. Setelah itu sudah saya nggak mikir apa-apa lagi. Baru malam ini saya kepikiran lagi. Mungkin saya nggak mau tahu banyak. Mungkin saya mau menyisakan hal-hal tentang Venice saat pertama kali saya berada di sana. Melihatnya sendiri, mengalaminya sendiri, mendengar dari orang-orang lokal sendiri (kalau bisa). Pada beberapa hal yang benar-benar kita inginkan, terkadang perlu sedikit menyisakan serpihan kecil untuk kita alami sendiri. Hihihi, kalian yang membaca ini boleh kok menganggap ini pembenaran. Tapi ada benarnya kan? ;)

Wednesday 8 October 2014

Berkereta

Hari ini saya sudah ada janji dengan salah satu teman untuk berkunjung ke Planetarium di kompleks Taman Ismail Marzuki. Asti, teman saya, beberapa hari sebelumnya sudah mengajak saya ke sana untuk melihat gerhana bulan total yang (katanya Kompas) puncaknya terjadi di sekitar pukul 17.24-18.24 WIB. Di Planetarium nanti, kami bisa melihat lebih jelas proses gerhana bulan melalui teropong yang disediakan untuk pengunjung. Jadilah saya mengiyakan ajakan Asti karena memang belum pernah menyaksikan gerhana bulan total melalui teropong bintang.

Sepulang kerja saya pun langsung beres-beres dan bersiap menuju stasiun kereta. Saya menunggu kereta yang Asti naiki datang supaya kami bisa sama-sama jalan dari Stasiun Cikini ke TIM. Setelah lama nggak ketemu, saya dan Asti ngobrol sana-sini tentang kegiatan masing-masing, kerjaan masing-masing, kerjaan orang-orang, dan kerjaan yang diimpikan. Obrolan yang sering ditemukan pada manusia-manusia yang baru saja meletakkan toga bekas pakai wisuda. Efek toga memang rasanya hanya ada ketika perayaannya, konfeti-konfeti yang ada meninggalkan tanda tanya mengenai apa yang akan dilakukan setelahnya. Mencoba menyejajarkan garis lurus idealisme dan realitas. Nggak pernah ketemu ? Tapi sejajar ?

Yah intinya kami pun sampai di TIM sekitar pukul 18.00 WIB. Tyas dan seorang temannya sudah sampai lebih dulu di sana. Saya dan Asti diberitahu bahwa gerhana bulan tidak dapat dilihat karena cuaca yang sedang mendung dan gerhananya tertutup awan. Jadilah kami hanya melihat dari proyektor di lantai bawah bagaimana kondisi gerhana bulan (live dari Planetarium di ujung bumi lain). Setelah lihat-lihat sebentar, akhirnya saya dan Asti memilih untuk mencari makan di sekitar TIM.  Saya dan Asti memesan sate padang dan es kelapa.Tyas dan temannya menonton film di bioskop yang masih di kompleks TIM.

Nah, inti ceritanya baru mulai dari sini. Saya dan Asti pada akhirnya, mau tidak mau, membicarakan tentang apa yang sedang terjadi negeri kami tercinta ini. Pemilihan legislatif dan presiden yang kami jalani sebagai suatu proses menjadi bangsa, yang katanya demokratis, sampai detik ini masih saja belum kadaluarsa untuk dibicarakan. Efeknya kemana-mana, marahnya nggak selesai-selesai, dan beberapa pemimpin terpilih kami hatinya nggak dipakai-pakai. Saya pun sempat nyeletuk, "Makanya gue benci politik!". Asti yang mendengarnya langsung mengeluarkan henpon dan menunjukkan quotes (oleh saya lupa siapa) yang isinya jika kita ingin mengakhiri kemiskinan, pelacuran, dll caranya adalah dengan berpolitik. Orang yang mengatakan tidak ingin berpolitik adalah orang yang tidak mau peduli dengan kondisi marginal dan rentan beberapa kelompok yang tidak terlihat. Saya pun teringat ketika menjadi notulen dalam sesi pemberian pemahaman politik pada pekerja migran, fasilitator mengemukakan bahwa peserta di sana tidak boleh selalu melekatkan politik dengan sesuatu yang buruk. Politik adalah alat untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan yang selama ini tidak terwujudkan, sehingga mengakibatkan banyak perempuan berada dalam kondisi miskin tanpa pilihan. Berpolitik memungkinkan perempuan menyuarakan apa yang ia perjuangkan hingga terdengar oleh berbagai lapisan. Sampai pada detik itu saya masih tidak paham. Menganggap politik sebagai hal yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan, malah menambah masalah yang ada karena benturan kepentingan.

Hingga pada saat saya pulang, saya pun menyaksikan hal yang membuat saya berpikir apakah benar politik itu penting. Sekitar pukul 20.00 WIB saya bergegas menaiki KRL jurusan Bogor dari Stasiun Cikini. Semua kursi terisi penuh, saya menyandarkan pinggang pada rangka besi disebelah tempat duduk prioritas. Saya melihat masih ada ruang untuk satu orang di salah satu bagian kereta yang pada akhirnya saya abaikan dan memilih untuk tetap berdiri. Beberapa stasiun berlalu dan orang-orang pun masuk-keluar. Di salah satu stasiun, seorang ibu yang sedang hamil masuk dan mencari tempat duduk kosong. Kala itu tempat duduk prioritas telah penuh dengan ibu-ibu sepuh dan ibu hamil lainnya. Meminta duduk di tempat selain prioritas agaknya akan sulit sehingga petugas pun meminta ibu hamil tersebut menuju gerbong biasa di sebelah gerbong khusus perempuan yang saya naiki. Beberapa saat selanjutnya seorang ibu sepuh masuk dan petugas pun meminta ibu-ibu di tempat duduk prioritas membagi tempat duduk pada ibu sepuh tersebut sehingga dapat duduk. Lagi-lagi tidak semua orang di gerbong tersebut mau bertukar tempat duduk dengan yang lain. Saya pun berpikir. Apakah ini adalah gambaran mudah dari politik? Jika saya memiliki kuasa yang dalam hal ini merupakan tempat duduk, saya akan dapat dengan mudah memberikan ibu sepuh atau ibu hamil tadi tempat duduk saya. Tapi dari awal saya memilih untuk berdiri, yang membuat saya tidak mempunyai daya untuk memberikan tempat duduk. Begitu pulakah dengan politik? Jika seseorang memiliki akses atas kuasa, maka akan dengan mudah dapat memperjuangkan kepentingan orang-orang yang ia bawa. Kalau memang begitu, maka politik tidak seburuk apa yang ada dipikiran saya. Politik kemudian dapat menjadi jalan untuk memberdayakan. Bukankah dengan demikian kita akan bahagia? Kesejahteraan yang disebutkan dalam sila kelima pun dapat diwujudkan.

Saya langsung mencari kontak Asti di henpon dan menceritakan apa yang saya pikirkan di atas. Apakah benar politik adalah demikian dan mempunyai daya untuk menyejahterakan. Namun pada beberapa kalimat terakhir saya menambahkan apa yang baru-baru saja saya pikirkan. Jika saja saya dalam gerbong tersebut sedang dalam kondisi duduk. Ibu sepuh dan ibu hamil memasuki gerbong saya. Apakah saya yang sedang duduk pasti akan memberikan tempat duduk saya kepada mereka? Kalimat terakhir pesan singkat yang saya kirimkan ke Asti pun jadinya seperti ini,
".... Hmm tapi gue takut ketika nantinya gue dapet tempat duduk gue akan lupa sama apa yang gue pelajari hari ini. That's why I hate politician. ...".
 Ya. Saya takut lupa. Lupa rasanya berdiri melihat ibu sepuh dan ibu hamil sulit mendapatkan tempat duduk, ketika saya pada akhirnya adalah orang yang sedang duduk diantara para penumpang lainnya.

Asti yang sedang dalam perjalanan pulangnya pun mengatakan bahwa memang kita mudah lupa. Tapi hebatnya, dia masih percaya bahwa masih banyak orang-orang tulus di luar sana yang sedang duduk (pada apapun jenis kursi mereka), yang akan dengan senang hati berdiri untuk kepentingan orang-orang seperti ibu sepuh dan ibu hamil agar mereka dapat menikmati perjalanan berkebangsaan.

Saya pun mengamini dalam hati. Tidak ada salahnya mencoba percaya lagi.

Sunday 24 August 2014

Tolerance

A high tolerance I think is both blessing and curse.
You can try to understand people with difference backgrounds and perspectives
But in the end
In those proccess
You'll also losing you.
It will destroy you
Your perspectives and experiences, vanish
It's good to have a high tolerance
But remember to be true
At least when you are with you.

Saturday 9 August 2014

Mecin

Saya masih berpikir bahwa tulisan ini tidak akan menjadi tulisan yang terlalu serius.
Semoga hingga titik paragraf terakhir memang isinya akan begitu.
Judul yang saya pilih juga sedikit banyak mencerminkan harapan saya akan hal tersebut.

Kemarin saya hanya berada di ruangan saya. Duduk--jika tidak bisa dibilang tidur--menghadap layar laptop dan beberapa kali meminum air.
Rencana sore hari adalah berenang bersama seorang kawan, tetapi batal.
Beberapa urusan seringnya mendapat halangan.
Malamnya saya baru mencoba mencari makan.
Capcay.
Dan Mas penjualnya paham apa yang saya pesan.
Menunggu beberapa saat akhirnya makanan saya dibuat.
Saya menghabiskan waktu dengan fokus pada tayangan televisi yang berisi "makhluk-makhluk misterius dalam rekaman video".
Hihihi
Bukan hantu dan sebagainya, lebih seperti superhero dan film agen rahasia yang rasanya tidak mudah ditemui di dunia nyata.
Mas yang memasak makanan pun melewati saya dengan membawa sesendok bubuk putih dari dapur belakang.
Saya masih enggan menanyakan barang apa yang akan ia masukkan ke dalam makanan saya.
Setelah makanan saya selesai di masak saya baru menanyakan apakah itu gula.
Ia pun menerangkan bahwa itu adalah campuran bumbu-bumbu seperti gula, garam, dan penyedap rasa.
MSG. Atau mecin seringnya saya menggunakan kata ganti.
Bagi saya yang tidak terlalu menyukai banyak rasa dalam makanan.
Mecin menjadi salah satu bumbu dapur yang paling bermasalah.
Empat tahun ini saya hampir tidak pernah menambahkan gula dalam teh.
Ibu yang masakkannya paling sehat untuk dimakan pun terkadang masih terlalu asin bagi saya.
Lada dan pala adalah beberapa bumbu dapur yang paling saya suka dan selalu mengingatkan seberapa kayanya untuk tinggal di Indonesia.
Sampai sekaran bahkan saya masih bertanya-tanya kenapa Kikunae Ikeda memperkenalkan MSG kepada kita semua.
Candu baru bagi penikmat rasa.
Baiklah, kembali ke mas-mas penjual capcay tadi.
Akhirnya saya menanyakan apakah boleh jika besok-besok tidak menambahkan sesendok butiran-butiran putih tersebut pada capcay saya dan dia mengiyakan disertai permintaan maaf.

Intinya, bukan saya merasa diri paling sehat dengan tidak mengkonsumsi makanan tanpa mecin.
Lagi pula menurut saya bubuk-bubuk candu rasa ini tidak bisa dihindari.
Hampir setiap makanan yang terdapat di supermarket sepersekiannya mengandung mecin.
Sayur-sayur yang dijual di beberapa tempat makan pun saya yakini nasibnya tidak jauh berbeda dari capcay yang saya beli dari mas-mas tadi.
Hanya saja,
bagaimana caranya untuk dapat hidup lebih sehat selain pilihan untuk memasak sendiri makanan saya.
Hmmm... saya rasa membutuhkan beberapa hari berkutat dengan air dan buah atau sayur mentah.

Hidup pun demikian.
Tidak selalu bisa menghindari kondisi-kondisi yang mengandung 'mecin' pada beberapa kesempatan
orang-orang yang memberikan pengaruh tidak sehat misalnya.
Saya ibaratkan mereka sebagai mecin.
Kondisi-kondisi yang membuat saya berpikiran berlebih juga,
bagian dari kemecinan hidup.
Bagaimana menghindarinya?
Hmmm tidak bisa?
karena kemecinan hidup kan selalu ada hihihi
Lagi pula hidup lebih berasa kan kalo ada mecinnya dikit-dikit.
Mungkin... ini juga yang ada di pikiran Dr. Ikeda ya waktu menemukan mecin.
Supaya lidahnya bisa mencicipi rasa lain.
Mencicipi kemecinan hidup.
Satu dua kali saya rasa tidak masalah.
Setelahnya?
Ambil waktu sejenak untuk diri sendiri.
Dari orang-orang, dari kondisi yang memenuhi diri dengan pikiran-pikiran berlebihan.
Mengingatkan saya untuk kembali menjadi saya.
Setelah sekian lama.
So, take your time!

Tuesday 5 August 2014

August

tahun ini rasanya cepat sekali. sudah bulan kedelapan.
bagaimana dengan catatan pencapaian yang dibuat di depan?
saya sendiri masih satu dua kali mencentang apa yang sudah berhasil dilakukan.

hingga bulan kedelapan ini beberapa hal telah saya lewati
termasuk susah payah mengerjakan skripsi
berkunjung ke tiga kota yang berbeda dalam 6 bulan ini terasa menyenangkan dan tidak ada beban
mengolah semua yang saya temukan dan menuliskannya yang sedikit merepotkan
saya belajar dari ungkapan-ungkapan yang dituturkan beberapa perempuan
mengenai kehidupan mereka, perjalanan mereka, dan keterbatasan pilihan yang dihadapkan kepadanya
bertemu dengan perempuan-perempuan ini membuat saya tersadar
bahwa hidup tidak senyaman yang selama ini saya rasakan
dengan standar kenyamanan saya tentunya
yang belum tentu menurut orang lain dapat dilihat sebagai sebuah "kenyamanan"

saya mendengar
dan memang saya menyukai sekali kegiatan satu ini
keluhan, tangisan, dan tawa yang dibagikan oleh perempuan-perempuan yang saya temui
beberapa memang benar seakan meruntuhkan langit dunia utopis yang selama ini saya elukan
luluh.
tapi tidak apa
keruntuhan langit saya tidak sebanding dengan keruntuhan yang mereka rasakan
pun demikian,
perempuan-perempuan ini membangun sendiri kembali lagitnya
berikut matahari yang menjadi tonggak dari mimpi sederhana
saya turut melihatnya
dari bagaimana mereka menghadapi pagi dan malam dunianya
mendengar memang tidak pernah meninggalkan mata untuk benar membuktikan

hal lain yang saya temukan adalah sisi-sisi gelap dari kita
percik kebohongan dari keterbatasan
terkadang saya temukan dengan mata terpejam
benar manusia
makhluk dengan tingkat adaptasi teratas diantara semua

kehilangan juga merupakan hal yang saya pelajari hingga pertengahan tahun ini
ketika hari raya dan mereka yang biasanya ditemui setahun sekali pun tidak hadir melengkapi
tapi kehilangan kali ini juga merupakan kebahagiaan bagi yang lain
darah-darah penerus keluarga telah lahir
Tuhan benar.
kita tidak pernah benar-benar kehilangan
tapi terkadang sulit untuk melihatnya dengan terang

dia dengan dua masa sulit yang berjajar
semoga hatimu diberi kelapangan
untuk mendengar bahwa Tuhan tidak pernah membiarkanmu sendirian
dan melihat kehilangan tidak lagi dengan mata berawan.


Saturday 29 March 2014

You always have me

Sebagian dari kita, sepanjang hidupnya, merasakan perjalanan tanpa kawan.
Sebagian dari kita, di tengah perjalanan, mengenal, dan mencoba berbagi, tetapi berhenti, karena yang lain tidak ingin mencoba memahami.
Sebagian dari kita, menjalani, bukan untuk dirinya sendiri.
Sebagian dari kita, bercerita sejenak, setelah sekian lama mendengar, terisak.
Sebagian dari kita, memalingkan wajah, untuk mengatakan bahwa ia lelah.


Sebagian dari kita, memilih berhenti percaya, bahwa ia memiliki sesama, yang dapat berbagi luka.

Untuk sebagian dari kita yang pernah merasakannya, yang mengatakan kepada saya bahwa usia tak pernah merenggut upayanya, untuk menghadapi sendiri segala, saya ada.
dan saya adalah sebagian darinya.
sepertiga usianya yang dihabiskan untuk membentuk seorang saya.
seumur hidup saya yang menjadikannya sebagai tangan untuk berpegang.


saya ada untuk berbagi luka.

Saturday 8 February 2014

save me from my self

please do.