Monday 29 March 2010

interpretation

melankolia - efek rumah kaca

Baru tadi siang saya berhasil mengisi play list di henfon dengan lagu itu setelah beberapa lama saya kehilangan stok lagu-lagu bagus karena persiapan ujian nasional lalu.

Bisa ditebak dengan mudah. Bagaimana isi lagu tersebut hanya dengan mendengar judul lagunya.

"nikmatilah saja kegundahan ini segala denyutnya yang merobek sepi kelesuan ini jangan lekas pergi aku menyelami sampai lelah hati"

begitu kira-kira bait-bait terakhir yang bisa saya ingat.

Bukan lagu atau penyanyinya yang akan saya bahas, namun lebih ke efek yang diberikan lagu ini kepada saya secara pribadi.

Berada di sebuah titik dimana saya benar-benar bingung. Beban yang terasa semakin nyata bahwa diluar sana keluarga dan sahabat-sahabat saya sudah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil semaksimal mungkin. Saya pun berusaha untuk tidak main-main dan fokus kepada apa yang saya inginkan.

Setiap doa
Setiap akhir dari sholat sholat malam saya
Hanya satu yang saya panjatkan kepada-Nya, Dzat Yang Mahasempurna.

Agar saya tidak mengecewakan mereka lagi.
Agar kali ini saya memilih dan melakukan hal yang benar.
Sehingga tidak ada lagi nafas tertahan dari ibu saya tiap kali membicarakan tentang apa yang telah saya pilih dua tahun lalu.

Jika saya dapat mempercayakan sesuatu kepada sahabat-sahabat saya, bukankah seharusnya saya harus jauh lebih percaya kepada ketetapan-Nya ?
Bukankah kerinduan-kerinduan ini tidak boleh melebihi kerinduan saya akan kebesaran-Nya ?

:)

saya berusaha Ya Rabb untuk memperbaiki semuanya. Saya berusaha untuk melihat sesuatu dari indahnya. Dan kali ini saya berharap, bahwa indah rencana-Mu sejalan dengan rencana-rencana berujung indah saya :)

Saturday 13 March 2010

Jarik


Kain kain lawas itu meningatkan saya pada sosok tuanya.

Tanpa kehilangan secuil pun detail dari sudut sudut ingatan saya, setiap sore, duduk tepat di samping pintu depan di kursi kayu tua yang menjadi kesayangannya selama beberapa tahun terakhir sembari menunggu penjual jajanan keliling yang tiap sore memang melewati jalanan rumah kami.

Tubuhnya tidak bisa dibilang kurus. Mencerminkan betapa ia memang pecinta segala macam makanan. Dia lah yang memperkenalkan saya, dengan aksen jawanya sewaktu itu jajanan jajanan seperti semar mendem, arem arem, dan kelezatan lemper--ketan putih berisi daging ayam yang dibungkus daun pisang persegi panjang.

Dia yang selalu memanggil saya, "Nduk, rene o, kae deloken candik ayune," ketika seberkas sinar merah jambu mulai tampak jauh di atas deretan rumah tetangga depan kami. Menandakan bahwa hari sudah hampir berada diujung perputarannya.

Sosok dengan balutan pakaian jawa sederhana--yang seringnya berwarna merah, entah kenapa--lengkap dengan jarik kehitaman adalah gambaran yang selalu muncul dibenak saya, tiap kali guru bahasa SMP membahas karangan tentang masa kecil tiap tiap muridnya.

Saya, dengan tingkat mengekspresikan perasaan sangat rendah, memang tidak pernah mampu mengungkapkan hal hal manis kepada orang orang yang sebenarnya sangat berarti bagi saya, yang pada akhirnya selalu membuat saya dan sosok tua itu mengakhiri percakapan dengan mengalihkan pandangan masing masing, tanda bahwa kami memang tidak ingin melanjutkannya.

Walaupun pada akhirnya, saya yang duduk di bangku kelas 2 SD waktu itu, dihadapkan pada kenyataan bahwa saya harus kehilangannya dan seluruh nasihat nasihat sore khas wanita jawa penuh tata krama yang selama ini menjadi makanan sehari hari saya.

Penyakit tua.

Sepeninggal beliau, saya mulai memahami bahwa dialah, sosok dengan kain jarik tua itulah, yang telah mendidik anak anaknya dengan 'berbeda'. Ibu saya yang besar dipangkuannya, adalah wanita kuat dengan pemikiran independen tak terkalahkan.

Oleh karena itu, kali ini, khusus saya persembahkan untuk tiap tiap hal yang tidak pernah bisa saya ungkapkan karena keegoisan masa kecil saya :)

mbah putri, i do really heart you .