Wednesday 29 October 2014

Avocado Mask

Hasrat membeli alpukat ketika mampir ke salah satu supermarket muncul karena saya pikir lucu kali ya, bikin sarapan pake pouched egg sama alpukat.
Karena saya penggemar berat telur, sarapan kesukaan saya pun nggak jauh-jauh dari telur.
Dua bulan terkahir saya selalu sarapan gado-gado di kantor dan bapak penjualnya nggak pernah lupa naruh telor rebus di piring saya.
Akhirnya saya belilah 2 buah alpukat yang warnanya ijo cakep dan berharap bisa dimakan beberapa hari kemudian.

Tetapi impian sarapan cantik ala barat pun terhalang berbagai alasan.
Pertama, di suatu malam saya kelaperan berat dan beli makan udah nggak mungkin karena kosan udah dikunci.
Satu-satunya makanan di kosan cuma tinggal 2 buah alpukat yang saya beli di supermarket.
Akhirnya saya ngerebus 1 butir telur dan ngupas 1 buah alpukat yang kecil.
Telur udah jadi dan alpukat udah dikupas.
Nggak ada curiga sama sekali.
Setelah alpukat gigitan pertama masuk mulut, baru kerasa kok ada yang beda.
Alpukat yang saya makan keras banget!
Rasanya pun jadi kaya jambu biji.
Ehek. Gagal lagi rupanya milih buah.
Saat itu juga saya telpon rumah dan ngadu ke Ibu saya kenapa alpukat yang saya pilih rasanya nggak enak.
Ibu saya pun ngejelasin kalo pilih alpukat jangan yang warnanya ijo cerah.
Yang mungkin udah matang dan siap makan adalah yang warnanya merah-kehitaman.
Saya nggak ambil yang begitu karena saya pikir udah mau busuk.
Ah yasudah...
Alhasil saya bingung mau saya apakan alpukat satu mangkuk itu.

Saya pun kepikiran untuk bikin masker muka pakai alpukat yang gagal dimakan.
Setelah saya uleg-uleg pake uleg-an yang dibawain Ibu saya ketika pindah kosan, jadilah alpukat itu mirip bubur.
Eh tapi nggak juga, karena emang hasilnya masih agak kasar.
Nggak tau kenapa saya nggak enak aja liat alpukat yang di jadiin selembut jus.
Saya tambahin satu sendok makan olive oil dan paraaa~~~ jadilah masker alpukat!
Maskernya saya ratain dimuka dan diamkan selama sekitar 20 menit.
Setelah itu cuci muka dan usap pakai handuk lembut.
Hasilnya?
Muka jadi lembuuuuut banget dan terasa lebih lembab.
Beberapa manfaat yang saya tau tentang masker alpukat ini adalah : mencerahkan, melembabkan, mengurangi garis halus pada kulit.
Selain dimuka, saya juga oleskan masker ini di kulit kaki.
Seringnya pakai sepatu terbuka bikin kulit kaki saya cepat kering dan terbakar matahari.
Harapannya supaya kulit kaki jadi lebih terhidrasi hihi.
Adakah yang pernah coba?


PS. dalam menulis ini saya jadi mikir alpukat di KBBI tulisannya gimana ya. Ternyata yang benar avokad bukan alpukat. Karena tulisan ini pakai bahasa percakapan, saya tetap menggunakan kata alpukat.

Sunday 26 October 2014

Norwegian Wood

Hari ini saya membaca ulang salah satu buku Haruki Murakami, Norwegian Wood. Yang saya baca adalah terjemahan bahasa Indonesia-nya. Tidak lain karena yang bisa saya pinjam sebatas yang edisi bahasa Indonesia. Sebetulnya saya suka baca novel terjemahan yang mana saja. Kalau memungkinkan akan saya baca dua versi bahasa karena pasti ada saja yang menarik jika dituliskan dalam (misalnya saja) bahasa Indonesia dan begitu pula bahasa Inggris. Beberapa ungkapan akan berbeda dan membuat kaya masing-masing versi terjemahan. Tapi untuk Norwegian Wood saya memang baru membaca versi ini. Untuk Kafka on The Shore (yang masih saya usahakan untuk selesaikan) saya membeli yang bahasa Inggris. Sedangkan untuk 1Q84 (yang merupakan pemberian dan belum saya baca) saya memiliki versi bahasa Indonesia kembali.

Norwegian Wood bagi saya merupakan pembuka yang ringan untuk mengantarkan saya pada karya-karya Haruki Murakami berikutnya. Kalau dapat saya istilahkan mungkin seperti Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Tapi tentu saja berbeda dalam berbagai aspek perbandingan. Bagi saya Norwegian Wood masih memiliki benang merah dari beberapa karya Haruki Murakami, sehingga tidak sekadar "ringan". Kesendirian, yang saya maksudkan. Memang saya baru membaca beberapa karya Haruki Murakami, untuk novel baru Norwegian Wood dan Kafka on The Shore. Sedangkan cerita pendek saya sudah membaca beberapa diantaranya. Yang sering saya temukan adalah sisi kesendirian yang diangkat oleh karya-karyanya.

Norwegian Wood ini yang jelas sekali menggambarkan kesendirian tersebut. Bagaimana kematian dan perpisahan kerap menghampiri orang-orang terdekat Watanabe adalah contohnya. Sosok Watanabe sendiri pun digambarkan sebagai seseorang yang tidak terlalu banyak berpikir untuk bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Ia hanya memiliki beberapa "teman" dan dengan merekalah kisah-kisah dalam buku ini diuraikan.

Haruki Murakami selalu kaya dengan penggambaran setting dan membangunnya dengan sangat detail. Bagi yang tidak sabar tentu akan sering melompati paragraf-paragraf mengenai hutan pinus, stasiun kereta, ataupun deretan toko-toko yang berjajar di dekat asrama tempat Watanabe tinggal. Bagi yang suka untuk mem-visualisasi hal ini akan sangat menguntungkan. Alur cerita akan terbentuk dengan setting yang jelas dan pembaca tidak dibuat bertanya-tanya sedang dalam kondisi apa dan di mana para tokoh berbicara. Bahkan merasakan betul apa yang dituliskan Murakami tentang sumur tua di perbatasan padang rumput dan hutan lebat di sebelahnya. Seolah nyata.

Hal lainnya adalah bagaimana Murakami seakan selalu membaca pikiran saya dengan menuliskannya dalam kata-kata pada karyanya. Misalkan ketika Naoko mengatakan bahwa apa yang ia katakan bukanlah apa yang ia maksudkan dan terkadang malah bertambah buruk ketika ia ingin memperbaiki kata-katanya. Hal-hal seperti ini adalah hal yang sering kali ditemukan dan lekat dengan keseharian tetapi jarang diangkat dalam sebuah karya tulisan. Murakami meraciknya dengan apik, sehingga enak dibaca dan ia berhasil membaca pikiran saya sebagai seorang pembaca.

Karya-karya yang sederhana dan menggambarkan kehidupan sehari-hari seperti ini terkadang menjadi terlalu membosankan untuk dinikmati. Hal ini juga terjadi pada misalnya saja sebuah film yang pernah saya tonton berjudul "Come Rain Come Shine". Film produksi Negeri Gingseng ini kebanyakan dikomentari sebagai film "garing" oleh beberapa teman saya. Bagi saya sebenarnya film ini cukup bagus. Menceritakan kegetiran pasangan suami istri yang akan berpisah. Sederhana tetapi begitu nyata. Dalam durasi kurang lebih 2 jam hanya diceritakan bagaimana seorang istri menyampaikan pada suaminya bahwa ia akan meninggalkan rumah dan meminta untuk berpisah. Sang suami tidak mengatakan keberatannya, ia malah membantu si istri untuk mengemasi barang-barang kesukaannya untuk dipindahkan ke rumah si istri dan kekasih barunya. Tapi pada beberapa sisi, terlihat betul bagaimana si suami sangat mencintai istrinya dan hanya menginginkan yang terbaik untuk si istri. Kejerian istri pun terlihat ketika suaminya tidak menunjukkan rasa keberatannya sama sekali.

Norwegian Wood bagi saya demikian. Lebih membumi dengan tidak terlalu banyak metafora. Hal-hal yang kerap ditemui pada kehidupan pembaca sehari-hari. Kematian, kesendirian, perasaan ditinggalkan yang tidak mau hilang. Tentu hal ini juga dikemas dengan kultur masyarakat Jepang yang begitu kental. Seks, kegamangan untuk memilih, alkohol, merupakan sisi-sisi lain yang melengkapi kisah ini.

Satu hal yang paling saya sukai adalah diangkatnya cerita tentang "kemiringan" yang sebenarnya dialami oleh semua manusia. Kita tidaklah normal bagi saya, jadi apa yang sebenarnya dihakimi oleh orang-orang yang menganggap dirinya normal? Jika boleh saya mengutip perkataan tokoh Reiko dalam novel ini, "Yang waras dari kami.....Adalah kami tau bahwa kami tidak waras" (283).

Monday 13 October 2014

Belajar

Hari ini saya tiba-tiba teringat beberapa hal dari kejadian beberapa hari dan beberapa bulan yang lalu.

1. Beberapa bulan yang lalu
Skripsi dan beban untuk segera menyelesaikan kuliah tepat waktu adalah salah satu titik yang pada akhirnya bisa saya lalui. Nggak gampang karena dosen pembimbing saya perfeksionis sekali. Benar-benar melihat usaha mahasiswinya untuk mengejar subjek dan membaca semua literatur. Tapi saya merasa beruntung karena pada akhirnya memang perjuangan yang dilewati setimpal dengan kepuasan setelah semuanya selesai. Kerja keras nggak pernah mengkhianati itu yang saya pelajari. Selain itu saya juga belajar untuk berargumen dengan dasar dalam proses penulisan skripsi saya. Saya dengan beberapa kelompok teman merupakan orang-orang yang suka berdebat. Apa saja bisa dijadiin bahan debat. Bukan debat dengan bahasan yang berat-berat. Kadang kala ngedebatin barang A yang dijual di toko B (menurut saya) atau di toko C (menurut teman lain). Jatuhnya memang jadi ngeyel alias debat kusir hehehe. Walaupun setelah skripsi pun saya dan beberapa teman masih melakukan hal demikian, tapi saya jadi sadar. Bahwa apapun argumen kita terhadap suatu hal, asalkan ada dasar dan pembuktiannya, maka boleh saja kita mempertahankan pendapat yang dikemukakan. Ini juga menjadi salah satu hal yang paling menyenangkan dari mempelajari ilmu di jurusan saya. Kebenaran tidak selalu mutlak. Seperti yang dijelaskan salah satu dosen saya mengenai Dialektika Hegel. Sudut pandang yang berbeda-beda bisa saja menghasilkan atau didasari kebenaran yang berbeda-beda pula. Disinilah menariknya, berbagai macam sudut pandang dapat digunakan untuk melihat satu hal yang sama. Saling menggenapkan. Jadi intinya (yang saya pelajari dari dosen pembimbing saya) berargumenlah, dengan dasar dan jusifikasi yang benar. Maka kamu tidak akan pernah salah hehehe. Tapi sekali lagi, untuk dapat benar-benar mempraktekkannya, perlu lawan bicara yang juga berhati lapang dan berpikiran terbuka dalam artian memahami bahwa kebenaran juga tidak absolut. Sehingga jika lawan bicara kita memiliki pandangan lain, maka ia akan tetap menghargai pendapat kita. Sepakat untuk tidak sepakat pun terjadi tanpa debat kusir panjang.

2. Beberapa hari yang lalu
Masih berhubungan dengan teman saya yang suka berdebat nggak penting sama saya hahaha. Saya lupa awalnya kami sedang bahas apa. Oh! Saya ingat! Jadi ceritanya teman saya baru saja pindah dari kosan lama ke kosan baru. Saya dan teman yang lain pun sedikit (banget) bantu-bantu. Setelahnya kami ngobrol sana-sini dan sampailah saya ngebahas pernikahan George Clooney dan Amal Alamuddin yang bertempat di Venice. Dua hal yang penting di sini: saya kagum sama Amal Alamuddin yang memang nggak usah ditanya lagi prestasinya di dunia internasional, selain itu juga pernikahan di Venice yang kayanya bikin ngiler semua orang. Venice sepertinya sudah menjadi negara urutan pertama yang sangat ingin saya kunjungi (setelahnya baru Ethiopia karena makanannya yang kaya rempah!). Membahas Venice, teman saya yang kosnya pindah ini bertanya berapa persen daratan dan perairan di Venice. Saya jawab saya tidak tahu. Teman saya bingung bagaimana mungkin saya ingin sekali ke Venice tetapi tidak tahu bagaimana kondisi Venice. Saya berhenti makan saat itu juga dan mikir. Hmm, sejauh ini saya sudah berkali-kali buka Wikipedia dan website travel lainnya untuk tahu sedikit-sedikit tentang Venice, tapi saya nggak kepikiran untuk tahu berapa bagian daratan dan perairan di sana. Yang saya tahu jelas adalah setiap tahun bangunan-bangunan disana semakin tenggelam dan beberapa kali mengalami banjir besar. Setelah itu sudah saya nggak mikir apa-apa lagi. Baru malam ini saya kepikiran lagi. Mungkin saya nggak mau tahu banyak. Mungkin saya mau menyisakan hal-hal tentang Venice saat pertama kali saya berada di sana. Melihatnya sendiri, mengalaminya sendiri, mendengar dari orang-orang lokal sendiri (kalau bisa). Pada beberapa hal yang benar-benar kita inginkan, terkadang perlu sedikit menyisakan serpihan kecil untuk kita alami sendiri. Hihihi, kalian yang membaca ini boleh kok menganggap ini pembenaran. Tapi ada benarnya kan? ;)

Wednesday 8 October 2014

Berkereta

Hari ini saya sudah ada janji dengan salah satu teman untuk berkunjung ke Planetarium di kompleks Taman Ismail Marzuki. Asti, teman saya, beberapa hari sebelumnya sudah mengajak saya ke sana untuk melihat gerhana bulan total yang (katanya Kompas) puncaknya terjadi di sekitar pukul 17.24-18.24 WIB. Di Planetarium nanti, kami bisa melihat lebih jelas proses gerhana bulan melalui teropong yang disediakan untuk pengunjung. Jadilah saya mengiyakan ajakan Asti karena memang belum pernah menyaksikan gerhana bulan total melalui teropong bintang.

Sepulang kerja saya pun langsung beres-beres dan bersiap menuju stasiun kereta. Saya menunggu kereta yang Asti naiki datang supaya kami bisa sama-sama jalan dari Stasiun Cikini ke TIM. Setelah lama nggak ketemu, saya dan Asti ngobrol sana-sini tentang kegiatan masing-masing, kerjaan masing-masing, kerjaan orang-orang, dan kerjaan yang diimpikan. Obrolan yang sering ditemukan pada manusia-manusia yang baru saja meletakkan toga bekas pakai wisuda. Efek toga memang rasanya hanya ada ketika perayaannya, konfeti-konfeti yang ada meninggalkan tanda tanya mengenai apa yang akan dilakukan setelahnya. Mencoba menyejajarkan garis lurus idealisme dan realitas. Nggak pernah ketemu ? Tapi sejajar ?

Yah intinya kami pun sampai di TIM sekitar pukul 18.00 WIB. Tyas dan seorang temannya sudah sampai lebih dulu di sana. Saya dan Asti diberitahu bahwa gerhana bulan tidak dapat dilihat karena cuaca yang sedang mendung dan gerhananya tertutup awan. Jadilah kami hanya melihat dari proyektor di lantai bawah bagaimana kondisi gerhana bulan (live dari Planetarium di ujung bumi lain). Setelah lihat-lihat sebentar, akhirnya saya dan Asti memilih untuk mencari makan di sekitar TIM.  Saya dan Asti memesan sate padang dan es kelapa.Tyas dan temannya menonton film di bioskop yang masih di kompleks TIM.

Nah, inti ceritanya baru mulai dari sini. Saya dan Asti pada akhirnya, mau tidak mau, membicarakan tentang apa yang sedang terjadi negeri kami tercinta ini. Pemilihan legislatif dan presiden yang kami jalani sebagai suatu proses menjadi bangsa, yang katanya demokratis, sampai detik ini masih saja belum kadaluarsa untuk dibicarakan. Efeknya kemana-mana, marahnya nggak selesai-selesai, dan beberapa pemimpin terpilih kami hatinya nggak dipakai-pakai. Saya pun sempat nyeletuk, "Makanya gue benci politik!". Asti yang mendengarnya langsung mengeluarkan henpon dan menunjukkan quotes (oleh saya lupa siapa) yang isinya jika kita ingin mengakhiri kemiskinan, pelacuran, dll caranya adalah dengan berpolitik. Orang yang mengatakan tidak ingin berpolitik adalah orang yang tidak mau peduli dengan kondisi marginal dan rentan beberapa kelompok yang tidak terlihat. Saya pun teringat ketika menjadi notulen dalam sesi pemberian pemahaman politik pada pekerja migran, fasilitator mengemukakan bahwa peserta di sana tidak boleh selalu melekatkan politik dengan sesuatu yang buruk. Politik adalah alat untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan yang selama ini tidak terwujudkan, sehingga mengakibatkan banyak perempuan berada dalam kondisi miskin tanpa pilihan. Berpolitik memungkinkan perempuan menyuarakan apa yang ia perjuangkan hingga terdengar oleh berbagai lapisan. Sampai pada detik itu saya masih tidak paham. Menganggap politik sebagai hal yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan, malah menambah masalah yang ada karena benturan kepentingan.

Hingga pada saat saya pulang, saya pun menyaksikan hal yang membuat saya berpikir apakah benar politik itu penting. Sekitar pukul 20.00 WIB saya bergegas menaiki KRL jurusan Bogor dari Stasiun Cikini. Semua kursi terisi penuh, saya menyandarkan pinggang pada rangka besi disebelah tempat duduk prioritas. Saya melihat masih ada ruang untuk satu orang di salah satu bagian kereta yang pada akhirnya saya abaikan dan memilih untuk tetap berdiri. Beberapa stasiun berlalu dan orang-orang pun masuk-keluar. Di salah satu stasiun, seorang ibu yang sedang hamil masuk dan mencari tempat duduk kosong. Kala itu tempat duduk prioritas telah penuh dengan ibu-ibu sepuh dan ibu hamil lainnya. Meminta duduk di tempat selain prioritas agaknya akan sulit sehingga petugas pun meminta ibu hamil tersebut menuju gerbong biasa di sebelah gerbong khusus perempuan yang saya naiki. Beberapa saat selanjutnya seorang ibu sepuh masuk dan petugas pun meminta ibu-ibu di tempat duduk prioritas membagi tempat duduk pada ibu sepuh tersebut sehingga dapat duduk. Lagi-lagi tidak semua orang di gerbong tersebut mau bertukar tempat duduk dengan yang lain. Saya pun berpikir. Apakah ini adalah gambaran mudah dari politik? Jika saya memiliki kuasa yang dalam hal ini merupakan tempat duduk, saya akan dapat dengan mudah memberikan ibu sepuh atau ibu hamil tadi tempat duduk saya. Tapi dari awal saya memilih untuk berdiri, yang membuat saya tidak mempunyai daya untuk memberikan tempat duduk. Begitu pulakah dengan politik? Jika seseorang memiliki akses atas kuasa, maka akan dengan mudah dapat memperjuangkan kepentingan orang-orang yang ia bawa. Kalau memang begitu, maka politik tidak seburuk apa yang ada dipikiran saya. Politik kemudian dapat menjadi jalan untuk memberdayakan. Bukankah dengan demikian kita akan bahagia? Kesejahteraan yang disebutkan dalam sila kelima pun dapat diwujudkan.

Saya langsung mencari kontak Asti di henpon dan menceritakan apa yang saya pikirkan di atas. Apakah benar politik adalah demikian dan mempunyai daya untuk menyejahterakan. Namun pada beberapa kalimat terakhir saya menambahkan apa yang baru-baru saja saya pikirkan. Jika saja saya dalam gerbong tersebut sedang dalam kondisi duduk. Ibu sepuh dan ibu hamil memasuki gerbong saya. Apakah saya yang sedang duduk pasti akan memberikan tempat duduk saya kepada mereka? Kalimat terakhir pesan singkat yang saya kirimkan ke Asti pun jadinya seperti ini,
".... Hmm tapi gue takut ketika nantinya gue dapet tempat duduk gue akan lupa sama apa yang gue pelajari hari ini. That's why I hate politician. ...".
 Ya. Saya takut lupa. Lupa rasanya berdiri melihat ibu sepuh dan ibu hamil sulit mendapatkan tempat duduk, ketika saya pada akhirnya adalah orang yang sedang duduk diantara para penumpang lainnya.

Asti yang sedang dalam perjalanan pulangnya pun mengatakan bahwa memang kita mudah lupa. Tapi hebatnya, dia masih percaya bahwa masih banyak orang-orang tulus di luar sana yang sedang duduk (pada apapun jenis kursi mereka), yang akan dengan senang hati berdiri untuk kepentingan orang-orang seperti ibu sepuh dan ibu hamil agar mereka dapat menikmati perjalanan berkebangsaan.

Saya pun mengamini dalam hati. Tidak ada salahnya mencoba percaya lagi.