Hari ini saya membaca ulang salah satu buku Haruki Murakami, Norwegian Wood. Yang saya baca adalah terjemahan bahasa Indonesia-nya. Tidak lain karena yang bisa saya pinjam sebatas yang edisi bahasa Indonesia. Sebetulnya saya suka baca novel terjemahan yang mana saja. Kalau memungkinkan akan saya baca dua versi bahasa karena pasti ada saja yang menarik jika dituliskan dalam (misalnya saja) bahasa Indonesia dan begitu pula bahasa Inggris. Beberapa ungkapan akan berbeda dan membuat kaya masing-masing versi terjemahan. Tapi untuk Norwegian Wood saya memang baru membaca versi ini. Untuk Kafka on The Shore (yang masih saya usahakan untuk selesaikan) saya membeli yang bahasa Inggris. Sedangkan untuk 1Q84 (yang merupakan pemberian dan belum saya baca) saya memiliki versi bahasa Indonesia kembali.
Norwegian Wood bagi saya merupakan pembuka yang ringan untuk mengantarkan saya pada karya-karya Haruki Murakami berikutnya. Kalau dapat saya istilahkan mungkin seperti Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Tapi tentu saja berbeda dalam berbagai aspek perbandingan. Bagi saya Norwegian Wood masih memiliki benang merah dari beberapa karya Haruki Murakami, sehingga tidak sekadar "ringan". Kesendirian, yang saya maksudkan. Memang saya baru membaca beberapa karya Haruki Murakami, untuk novel baru Norwegian Wood dan Kafka on The Shore. Sedangkan cerita pendek saya sudah membaca beberapa diantaranya. Yang sering saya temukan adalah sisi kesendirian yang diangkat oleh karya-karyanya.
Norwegian Wood ini yang jelas sekali menggambarkan kesendirian tersebut. Bagaimana kematian dan perpisahan kerap menghampiri orang-orang terdekat Watanabe adalah contohnya. Sosok Watanabe sendiri pun digambarkan sebagai seseorang yang tidak terlalu banyak berpikir untuk bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Ia hanya memiliki beberapa "teman" dan dengan merekalah kisah-kisah dalam buku ini diuraikan.
Haruki Murakami selalu kaya dengan penggambaran setting dan membangunnya dengan sangat detail. Bagi yang tidak sabar tentu akan sering melompati paragraf-paragraf mengenai hutan pinus, stasiun kereta, ataupun deretan toko-toko yang berjajar di dekat asrama tempat Watanabe tinggal. Bagi yang suka untuk mem-visualisasi hal ini akan sangat menguntungkan. Alur cerita akan terbentuk dengan setting yang jelas dan pembaca tidak dibuat bertanya-tanya sedang dalam kondisi apa dan di mana para tokoh berbicara. Bahkan merasakan betul apa yang dituliskan Murakami tentang sumur tua di perbatasan padang rumput dan hutan lebat di sebelahnya. Seolah nyata.
Hal lainnya adalah bagaimana Murakami seakan selalu membaca pikiran saya dengan menuliskannya dalam kata-kata pada karyanya. Misalkan ketika Naoko mengatakan bahwa apa yang ia katakan bukanlah apa yang ia maksudkan dan terkadang malah bertambah buruk ketika ia ingin memperbaiki kata-katanya. Hal-hal seperti ini adalah hal yang sering kali ditemukan dan lekat dengan keseharian tetapi jarang diangkat dalam sebuah karya tulisan. Murakami meraciknya dengan apik, sehingga enak dibaca dan ia berhasil membaca pikiran saya sebagai seorang pembaca.
Karya-karya yang sederhana dan menggambarkan kehidupan sehari-hari seperti ini terkadang menjadi terlalu membosankan untuk dinikmati. Hal ini juga terjadi pada misalnya saja sebuah film yang pernah saya tonton berjudul "Come Rain Come Shine". Film produksi Negeri Gingseng ini kebanyakan dikomentari sebagai film "garing" oleh beberapa teman saya. Bagi saya sebenarnya film ini cukup bagus. Menceritakan kegetiran pasangan suami istri yang akan berpisah. Sederhana tetapi begitu nyata. Dalam durasi kurang lebih 2 jam hanya diceritakan bagaimana seorang istri menyampaikan pada suaminya bahwa ia akan meninggalkan rumah dan meminta untuk berpisah. Sang suami tidak mengatakan keberatannya, ia malah membantu si istri untuk mengemasi barang-barang kesukaannya untuk dipindahkan ke rumah si istri dan kekasih barunya. Tapi pada beberapa sisi, terlihat betul bagaimana si suami sangat mencintai istrinya dan hanya menginginkan yang terbaik untuk si istri. Kejerian istri pun terlihat ketika suaminya tidak menunjukkan rasa keberatannya sama sekali.
Norwegian Wood bagi saya demikian. Lebih membumi dengan tidak terlalu banyak metafora. Hal-hal yang kerap ditemui pada kehidupan pembaca sehari-hari. Kematian, kesendirian, perasaan ditinggalkan yang tidak mau hilang. Tentu hal ini juga dikemas dengan kultur masyarakat Jepang yang begitu kental. Seks, kegamangan untuk memilih, alkohol, merupakan sisi-sisi lain yang melengkapi kisah ini.
Satu hal yang paling saya sukai adalah diangkatnya cerita tentang "kemiringan" yang sebenarnya dialami oleh semua manusia. Kita tidaklah normal bagi saya, jadi apa yang sebenarnya dihakimi oleh orang-orang yang menganggap dirinya normal? Jika boleh saya mengutip perkataan tokoh Reiko dalam novel ini, "Yang waras dari kami.....Adalah kami tau bahwa kami tidak waras" (283).