Friday 23 April 2010

seteguk es penyegar hati :D

siang ini,
masih seperti siang-siang beberapa hari terakhir yang saya habiskan bersama ibu saya.

Mondar mandir rumah-tukang jahit-rumah sodara, dengan kepentingan masing-masing : ibu saya menjahitkan baju kebaya seragam keluarga, saya menjahitkan kebaya saya sendiri dan mengambil dua potong baju hasil laundry yang sempat saya pinjam dari citra--sahabat saya--untuk acara seminggu kemarin.


Hmmm, kalau boleh jujur, saat-saat saya dan ibu saya pada akhirnya dapat bicara dari hati ke hati (maaf dengan bahasa klise seperti ini) agak berbeda dengan beberapa keluarga lain yang mungkin duduk di meja makan atau kursi santai, sekadar mengobrol apa saja yang dilakukan masing-masing pada suatu hari. Suasana hangat yang didambakan hampir semua keluarga kecil seperti kami.

Tapi entah kenapa, saya dan ibu saya memang tidak bisa bergaya 'ramah-tamah' seperti yang saya sebutkan di atas.

Ibu dan saya sama-sama keras. Berbicara dengan tekanan dimana-mana. Jika tidak setuju, salah satu memilih diam, tidak melanjutkan pembicaraan.

Yah seperti itulah.

Berbeda ketika kami berdua sedang diperjalanan, di dalam sebuah becak, membicarakan apa dan bagaimana pendidikan saya kelak. Sedikitnya kami menurunkan suara demi tidak menarik perhatian orang-orang di jalan sana. Lebih fokus dan inilah yang saya sebut sebagai saat-saat penting yang jarang terjadi antara kami berdua.

Kembali pada kejadian hari ini.

Di tengah jalan ibu melihat penjual es kacang hijau kesukaan saya--ibu saya tidak pernah bertanya apa yang saya suka atau tidak suka, beliau lebih memperhatikan barang-barang atau sampah yang saya bawa sepulangnya saya dari suatu tempat, saya diam-diam sangat menyukai caranya ini. Ibu menawarkan untuk berhenti sebentar dan membelinya. Saya yang sedari tadi hanya 'ngedumel' karena teriknya siang tadi sebenarnya ingin meng-'iya'kan tawarannya. Tapi entah kenapa jawaban yang keluar dari mulut saya adalah, "Engga ah, cepetan pulang aja, Mah."

Ibu saya mengangguk diam. Tapi tetap saja, setelahnya dia menggoda saya untuk membeli tiga plastik es kacang hijau--termasuk untuk sopir becak. Mau tidak mau saya menyerah dan becak kami pun berhenti sementara.

Setelahnya, tiba-tiba ibu saya menggumam, "Oh, berarti nyat rezekine tukang es yang ini ya, Dek." (Oh, berarti memang rezekinya tukang es yang ini ya, Dek)

Saya terdiam. Berpikir sejenak. Dalam hati saya meng-'iya'kan perkataan ibu saya.

Tidak aneh, kan, perkataan ibu saya?

Tapi entah kenapa sampai malam ini, saya masih memikirkan satu kalimat mengena itu.

Logikanya begini, kalau saya benar-benar menginginkan untuk membeli es dari penjual yang kami temui pertama tadi, bisa saja kan saya turun lalu membelinya. Toh saya juga dalam keadaan sedang sangat haus. Tapi ternyata tidak. Setelah melewati beberapa penjual lainnya dan bujukan ibu saya, saya akhirnya memutuskan untuk turun dan membeli es pada penjual kedua dan hasilnya, walaupun hanya beberapa lembar uang seribuan, tapi penjual kedua lah yang akhirnya mendapatkan.

Sederhana memang, tapi bisa saja kan terjadi pada hal-hal yang lebih besar yang tentunya akan menimbulkan akibat yang besar pula.

Pengaturan yang indah.

Jalan saya, jalan mereka, jalan orang-orang di luar sana dan tentu saja jalan anda yang sedang membaca blog saya ini, sudah disiapkan oleh Yang Maha Pencipta, indah dan berbeda, tidak mungkin tertukar atau pun salah perhitungan. Semua sesuai dengan apa yang sudah diusahakan dan tawakal yang dilakukan untuk mengharap ridho Nya :)

Jadi ?

Tidak ada alasan untuk saling mendengki dan iri hati bukan :D

Thursday 22 April 2010

Bagaimana dengan kalian?

Bukankah hidup adalah tentang bagaimana kami bertahan ?

Ketika kemiskinan melanda lebih dari separuh penduduk bangsa ini, hal itulah yang tetap menjadi pengharapan terhadap janji janji para pemimpin kami.

Disaat sepersekian dari mereka menikmati hidangan hidangan seharga berhari hari kerja kami, inilah cambuk agar tetap memeras keringat demi meyakinkan anak anak kami barang sesuap nasi untuk esok hari.

Ketika mereka membanggakan rumah beratap tinggi megah dan berlomba menghiasnya dengan keramik keramik antik yang bahkan takut takut kami untuk melirik, inilah yang membuat kami masih menyanjung rumah beratap jerami beralaskan tikar tempat kami berbagi dan melepas lelah seusai bekerja sehari.

Disaat hanya nada nada sumbang yang dapat mereka berikan terhadap apa yang kami kerjakan, di sinilah kami tetap memegang erat apa yang dirasa benar dan menutup telinga dari apa yang mereka bicarakan tentang kesederhanaan kami.

Ketika mereka membangun tembok beton kokoh tanpa cela untuk mencemooh pagar kayu kecil milik kami, inilah yang mampu kami lakukan untuk tetap melihat kebahagiaan yang Tuhan berikan yang terkadang tertutup ilalang kehidupan.




**kesederhanaan adalah penghargaan terbesar dan pertahanan terakhir saya atas apa pun yang telah Engkau berikan di hidup saya Ya Rabb :)

Tuesday 6 April 2010

humaniverse



Ini adalah salah satu tugas ujian praktek dari guru seni rupa saya. Membuat sebuah lukisan sesuai dengan tema yang sudah ditentukan bagi masing-masing siswa sebelumnya. Entah beruntung atau tidak, saya mendapatkan tema yang saya pilih sendiri, abstrak.

Tepat sehari sebelum deadline pengumpulan tugas ini, kanfas milik saya bisa dipastikan masih kosong melompong. Baru sekitar pukul setengah sepuluh malam, saya akhirnya berusaha mengingat-ingat dimana terakhir kali saya menyimpan palet dan cat air setengah 'melempem' sisa tahun lalu--yang kira-kira menghabiskan setengah jam sendiri untuk akhirnya benar-benar menemukannya.

Dan inilah :D--hasil dari berkutat selama satu jam dengan cat-cat air ala kadarnya--lukisan (ehem jika bisa dibilang begitu) abstrak yang mampu saya buat.

Warna-warna background saya pilih untuk melambangkan lingkungan hidup manusia dan kelompok-kelompok kemasyarakatan di dalamnya. Terkotak-kotak berdasarkan kebutuhan, hasil dari multikulturalisme yang sudah dianut bangsa ini sejak berabad-abad lalu.

Lingkaran-lingkaran saya simbolkan sebagai manusia, pribadi yang unik, berbeda dan bebas berideologi. Kenapa lingkaran ? Karena menurut saya--yang sangat terbatas pemahamannya ini--lingkaran mampu dan mudah menyesuaikan dengan bidang-bidang lainnya. Fleksibel dan terkesan lentur--sekali lagi, menurut saya.

Lingkaran yang berdiri sendiri melambangkan kemampuan manusia untuk meletakkan dirinya sebagai seorang 'lakon' di masyarakat. seperti lingkaran dengan pewarnaan biru yang menunjukkan nilai kereligiusan dalam diri seseorang.

Lingkaran kuning yang pudar dan mulai kehilangan polanya membaur dengan warna background menunjukkan proses peleburan jati diri dikarenakan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkaran tersebut kelak akan mempunyai warna baru dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru pula sebagai seorang manusia dan pada akhirnya kehilangan kepribadian asalnya.

Lingkaran yang melebur dengan lingkaran lain saya ibaratkan sebagai sosialisasi antarmanusia, yang mau tidak mau kelamaan akan saling mempengaruhi satu sama lain dan membuatnya mempunyai pewarnaan baru.

Sederhananya, saya berusaha membuat sesuatu yang kompleks di dalam masyarakat menjadi lebih ringkas dengan pemahaman saya sebagai orang awam pada umumnya.

Oleh karena itu, saya memberi nama hasil pekerjaan tangan saya ini "HUMANIVERSE" yang diambil dari kata "human" dan "universe", manusia dan alam raya yang saling mempengaruhi.

Thursday 1 April 2010

hal hal kecil dari masa lalu

Alhamdulillahirrobbilalamin .

Hari ini, entah secara sengaja atau tidak, lorong-lorong kehidupan-Nya menuntun saya pada sebuah kejutan kecil manis di tengah gerah nya kota Solo pada jam-jam seperti ini.

Dua tahun lalu, saya pernah gagal dalam menjalankan apa yang saya sebut sebagai 'my biggest temptation'.

Mengikuti sebuah ekstrakulikuler memang kewajiban semua siswa kelas 1 SMA pada waktu itu. Disamping beberapa ekstrakuler wajib, kami dibebaskan untuk memilih apapun estrakulikuler yang benar-benar kami minati.

Saya, yang malasnya setengah mati untuk hal-hal seperti itu, menatap datar pada daftar ekstrakulikuler yang dibagikan oleh sekolah. Tapi setelah agak lama, saya mulai tertarik pada sebuah ekstrakulikuler yang sifatnya agak berbeda dari yang lain. Diperlukan penyaringan untuk dapat menjadi anggota inti. Dan yang lain, secara otomatis tereliminasi dan tidak dapat melanjutkan mengikuti ekstrakulikuler tersebut.

Entah karena saya memang belum bisa memahami atau apa, saya benar-benar grogi saat akhirnya dimulai proses pemilihan anggota inti dan akhirnya tereliminasi. Saya akui memang, saat itu saya merasa sangat awam dan tidak tahu menahu apapun tentang bidang tersebut dan jauh tertinggal dibanding teman-teman saya yang akhirnya dipilih menjadi anggota inti.

Gagal.

Salah seorang teman ketika saya menanyakan padanya apakah saya sudah menjadi orang yang gagal atau tidak, mengatakan seperti ini kira-kira "Jika tujuan akhirmu berbeda dengan apa yang tengah terjadi dengan dirimu yang sekarang, ya, maka kamu sudah gagal."

Menyakitkan atau tidak ? Tentu. Tapi saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa memang saya belum berusaha secara maksimal dan terlalu 'leyeh-leyeh' dalam menjalankannya. Tidak apa-apa. Toh saya masih sangat menyukai bidang tersebut dan saya berusaha sedikit demi sedikit mempelajarinya. Beruntung pada waktu itu seorang senior saya masih memberi dukungan moril yang luar biasa.

Hari ini, alhamdulillah saya berhasil sedikit memperbaiki kesalahan dua tahun yang lalu itu :)

Dari beberapa teknik yang masih samar-samar saya ingat, saya mendapatkan 'hadiah kecil'--bagi diri saya sendiri, hal ini sangat menutup kekecewaan karena saya yang merasa diri saya sendiri telah gagal.

Salah seorang guru saya mengatakan saya sudah berusaha dengan baik sebagai seorang adjudicator of debate.

Hadiah kecil bagi kegagalan masa lalu saya, terimakasih Ya Rabb :)