siang ini,
masih seperti siang-siang beberapa hari terakhir yang saya habiskan bersama ibu saya.
Mondar mandir rumah-tukang jahit-rumah sodara, dengan kepentingan masing-masing : ibu saya menjahitkan baju kebaya seragam keluarga, saya menjahitkan kebaya saya sendiri dan mengambil dua potong baju hasil laundry yang sempat saya pinjam dari citra--sahabat saya--untuk acara seminggu kemarin.
Hmmm, kalau boleh jujur, saat-saat saya dan ibu saya pada akhirnya dapat bicara dari hati ke hati (maaf dengan bahasa klise seperti ini) agak berbeda dengan beberapa keluarga lain yang mungkin duduk di meja makan atau kursi santai, sekadar mengobrol apa saja yang dilakukan masing-masing pada suatu hari. Suasana hangat yang didambakan hampir semua keluarga kecil seperti kami.
Tapi entah kenapa, saya dan ibu saya memang tidak bisa bergaya 'ramah-tamah' seperti yang saya sebutkan di atas.
Ibu dan saya sama-sama keras. Berbicara dengan tekanan dimana-mana. Jika tidak setuju, salah satu memilih diam, tidak melanjutkan pembicaraan.
Yah seperti itulah.
Berbeda ketika kami berdua sedang diperjalanan, di dalam sebuah becak, membicarakan apa dan bagaimana pendidikan saya kelak. Sedikitnya kami menurunkan suara demi tidak menarik perhatian orang-orang di jalan sana. Lebih fokus dan inilah yang saya sebut sebagai saat-saat penting yang jarang terjadi antara kami berdua.
Kembali pada kejadian hari ini.
Di tengah jalan ibu melihat penjual es kacang hijau kesukaan saya--ibu saya tidak pernah bertanya apa yang saya suka atau tidak suka, beliau lebih memperhatikan barang-barang atau sampah yang saya bawa sepulangnya saya dari suatu tempat, saya diam-diam sangat menyukai caranya ini. Ibu menawarkan untuk berhenti sebentar dan membelinya. Saya yang sedari tadi hanya 'ngedumel' karena teriknya siang tadi sebenarnya ingin meng-'iya'kan tawarannya. Tapi entah kenapa jawaban yang keluar dari mulut saya adalah, "Engga ah, cepetan pulang aja, Mah."
Ibu saya mengangguk diam. Tapi tetap saja, setelahnya dia menggoda saya untuk membeli tiga plastik es kacang hijau--termasuk untuk sopir becak. Mau tidak mau saya menyerah dan becak kami pun berhenti sementara.
Setelahnya, tiba-tiba ibu saya menggumam, "Oh, berarti nyat rezekine tukang es yang ini ya, Dek." (Oh, berarti memang rezekinya tukang es yang ini ya, Dek)
Saya terdiam. Berpikir sejenak. Dalam hati saya meng-'iya'kan perkataan ibu saya.
Tidak aneh, kan, perkataan ibu saya?
Tapi entah kenapa sampai malam ini, saya masih memikirkan satu kalimat mengena itu.
Logikanya begini, kalau saya benar-benar menginginkan untuk membeli es dari penjual yang kami temui pertama tadi, bisa saja kan saya turun lalu membelinya. Toh saya juga dalam keadaan sedang sangat haus. Tapi ternyata tidak. Setelah melewati beberapa penjual lainnya dan bujukan ibu saya, saya akhirnya memutuskan untuk turun dan membeli es pada penjual kedua dan hasilnya, walaupun hanya beberapa lembar uang seribuan, tapi penjual kedua lah yang akhirnya mendapatkan.
Sederhana memang, tapi bisa saja kan terjadi pada hal-hal yang lebih besar yang tentunya akan menimbulkan akibat yang besar pula.
Pengaturan yang indah.
Jalan saya, jalan mereka, jalan orang-orang di luar sana dan tentu saja jalan anda yang sedang membaca blog saya ini, sudah disiapkan oleh Yang Maha Pencipta, indah dan berbeda, tidak mungkin tertukar atau pun salah perhitungan. Semua sesuai dengan apa yang sudah diusahakan dan tawakal yang dilakukan untuk mengharap ridho Nya :)
Jadi ?
Tidak ada alasan untuk saling mendengki dan iri hati bukan :D