Friday 26 December 2014

Beautifully Quirky Haruki Murakami's

It's already half past three and I'm still trying to write this post. I'd choose to sleep right about now, but what I'm going to discuss is way more intriguing than sleeping. I've finished some books these couple of weeks but what I do really like to review is about another Murakami's. This is what I mean, an ideal-christmast-gift that every book reviewers have been talking about this month!

The Strange Library - Haruki Murakami's lastest book

It took almost 2 weeks before I finally could get a copy of this book. I ordered by phone from a book store at my campus library but then I realized that they didn't take any note about the book which I ordered. So I came a week later and made sure that this time they would save a copy for me. When I finally got a call from the book store to pick up the book, I was flustered by choosing which one of version that I wanted to buy. I asked the store assistant what's the difference between the hardcover and the paperback edition. Both editions have some colourful pages--I can saw it right away on the side of the book though it's sealed. I learnt that the hardcover version (with magenta cover) is the UK edition and the paperback's US edition (the one that I finally bought). You can check this link for further reference about both editions.

And, yes I love the book!
Before going to the writing aspect I'd love to tell you that Chip Kidd's did very well with the whole design and illustrations. It's like a book from my childhood in which I can find a page of illustration to every full page of words. Actually, I was in doubt to purchase this book because it's a bit pricey for a 90-something pages book. I could buy others a brick thick book if I want-- Colourless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimare or Aldutery by Paulo Coelho would do. This book without any of the illustrations would be just a short story. But yes with this kind of design, I think it's worth every penny.

Even with a concept of childreen book, I still completely disagree with those who say this book is intended for kids. Actually I don't even know what they called as "childreen book" because the original story about Cinderella and others also have its dark sides. I don't think this book is a childreen book more like because it's Murakami's! Ha! Whether there will be any hidden meaning or value beyond the methaporical words that Murakami usually does, but ya, this book still has those subconscious things that Murakami loves. But maybe if someday I have a child who has an old soul inside her/his 4 y.o figure, I'll read her/him this book once in a while when I'm out of story to tell.

A little boy is the center of the story. He resembles me--and may be you--in some aspects. He's an obedient child who always says yes to every order that others people told him to do. Even when he doesn't like the idea. He just wants to make other people happy. Even when it means that he has to sacrifice himself. He likes to be praised. Even because of doing something he doesn't like. For me he's more like a conformist and naive side of us. Okay, of me.

If you want to know the plot, it will be easier to read the link I've put before. You will find an old man with a willow switch, a man dressed in a sheep outfit, a ghostly girl, the boy's mom, a starling, a black mysterious dog, and some mouth watering food descriptions. And oh! Don't forget to read the ending of the story. It's printed in smaller typewiter text on the next page. It's like the boy had been through a nightmare for me. The realistic one.

Ask me about how I personally feel when I was reading the book! (Would you?)
This book is absolutely weird, quirky, dark, elusive, and surreal. But, that's why I love it as much as I love Kafka on The Shore. For me, the book gives me the idea about starting to live in this messy world. When we are young, we should be careful about what we want to learn and know. Every source of knowledge about wrong or right lays beyond dimension of black and white. It's in the dimension of flexibility. In the end we have to learn by ourselves what's right and wrong. What's exist and disguise. What we really want and don't want. Because nobody will always be there to lead the journey. Giving order. Drawing the line. Or watching us out.

So, whether you want to purchase a copy or just borrow this from your friend, if you're a Murakami's fan, then have a happy beautifully quirky way of reading!



The Strange Library
Fiction
by Haruki Murakami
96 pp. Alfred A. Knopf. $18.

Saturday 13 December 2014

"Dude, your perspective on life sucks!"

Judul di atas adalah potongan monolog di awal lagu "Blame It on The Girls" yang dinyanyikan oleh Mika.
Nggak akan saya bahas judul lagunya karena inti dari posting kali ini bukan tentang itu.
Berawal dari ajakan seorang teman untuk ikut menjadi relawan di salah satu daerah bencana, saya jadi banyak belajar mengenai perspektif dari pengalaman yang saya dapat di minggu ini.
Bukan. Bukan belajar mengenai bagaimana menjadi relawan yang baik, hectic-nya persiapan, kondisi sosial di penampungan, atau arti upaya saling membantu diantara umat manusia karena pada akhirnya saya juga nggak jadi berangkat ke sana.
Kenapa nggak jadi? Nggak akan saya bahas juga. Hihihi nanti kepanjangan.

Pada intinya saya diajak gabung ketika H-3 keberangkatan teman-teman ke daerah bencana yang dijanjikan panitia.
Saya ikut meeting dan ketemu beberapa orang dari berbagai latar belakang seperti jurnalis, praktisi, fotografer, dan mahasiswa.
Saya yang nggak tau apa-apa ini jadi diem aja di sana dan lebih banyak mendengarkan.
Sebelumnya saya sempat mengirim CV ke panitia untuk kelengkapan data pribadi.
Nah, mulailah salah satu orang menunjuk-nunjuk saya dan menghubungkan saya dengan komunitas yang pernah mengadakan pelatihan menulis dan berpikir kreatif yang dulu saya ikuti.
Saya pikir, Oh mungkin tahu dari CV saya. 
Saya cuma ketawa-ketiwi mereka ngomong ini-itu dan salah satu yang saya ingat adalah celetukan tentang komunitas tersebut salah arah dan saya adalah korban dari kesalaharahan yang diajarkan.
Saat itu saya masih ketawa-ketiwi. Lucu. Dan masih ingin mendengarkan.

Lalu ngobrol-ngobrol lagi dan saya yang duduk di paling pinggir seolah diajak bicara--padahal saya nggak denger dan lagi makan--dan mereka pun merespon dengan menghubungkan saya dengan institusi tempat saya magang dulu.
Ah yaudah kamu kan orang **** pasti pernah
Kutipan di atas adalah kira-kira pada intinya mereka berkata demikian. Saya juga nggak ngedengerin amat. Tapi kalau nggak salah mereka sedang membahas pekerjaan yang akan dilakukan ketika telah berada di daerah bencana nantinya.

Setelah makan, foto-foto, dan dikasih tau ini-itu persiapan pergi, kami pun pulang.
Beberapa ingin melanjutkan diskusi materi program di daerah bencana yang akan diberikan.
Tapi saya menolak bergabung karena besoknya masih hari kerja.
Seseorang menanyakan dimana saya bekerja.
Setelah saya jawab ia lantas mengatakan bahwa metode yang digunakan kantor saya tidak disertai argumen yang jelas cara pengumpulan datanya dan dasar argumennya cenderung dibelokkan ke arah keagamaan.
Ia juga menghubungkan saya dengan salah satu kandidat calon presiden di Pilpres lalu karena saya bekerja di kantor yang kata dia turut memenangkan salah satu kandidat.
Saya nggak paham. Dan saya rasa nggak begitu. Saya diem aja ketawa-ketawa mendengarkan.
Di sesi foto sebelumnya sempat ada joke bahwa pendukung salah satu kandidat presiden juga nggak boleh ikutan foto bersama.
Tambah nggak paham.

Setelah malam itu saya mulai mencari tahu tentang kenapa mereka mengatakan komunitas tertentu tersebut salah arah. Saya baca halaman yang pernah di-share senior saya yang mengutip bahwa dua lembaga--termasuk salah satunya komunitas yang saya maksud--adalah lembaga sampah.
Saya paham sedikit-sedikit bahwa intinya adalah pemikiran orang yang mengatakan demikian dan pendiri lembaga-lembaga tersebut berbeda.
Saya mulai mencari lagi tentang apa itu ideologi dan secara lebih khusus sosialis komunis dan liberalisme.
Setelah tanya sana-sini akhirnya saya paham apa yang diperdebatkan.
Perbedaan ideologi yang pada akhirnya memengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan menilai orang lain.
Bahkan dalam versi radikalnya memusuhi, menyakiti, menghancurkan, dan terakhir yang sering kita lihat akhir-akhir ini adalah membumihanguskan.

Hal yang membuat saya bingung adalah bagaimana seseorang dapat dengan mudah melabel dirinya sendiri bahkan orang lain dengan ideologi tertentu.
Okelah kalau orang lain tersebut memang terang-terangan dari sumsum tulangnya menyetujui dan mengamini sampai di setiap aliran darahnya suatu ideologi.
Nah kalau orang macam saya?
Saya yang bahkan harus tanya dan cari sana-sini tentang dasar ideologi sudah diidentikkan dengan ideologi tertentu dalam satu pertemuan?
Lucu.

Hanya karena saya mengikuti suatu acara yang dibuat suatu komunitas tertentu, pernah bekerja di tempat tertentu, berteman dengan orang tertentu lantas saya identik dengan ideologi mereka?
Saya rasa perlu dipikirkan lagi.
Bagi saya, saya hanya ingin belajar. Baik ideologi A, perspektif B, paham C yang dimiliki oleh orang-orang yang saya kenal.
Saya tidak lantas mengamini dengan mata tertutup hal-hal tersebut.
Saya sendiri tidak melabelkan suatu ideologi pada diri saya.
Kalau orang lain memberikan label tersebut ya terserah, saya tidak masalah.
Karena pada dasarnya ketika seseorang diberikan label sesuatu, saya pikir kebebasan yang dimilikinya pun akan terkurung.
Yang paling utama adalah kebebasan untuk banyak belajar lagi.
Pengalaman saya, orang-orang yang telah melabelkan dirinya dengan ideologi tertentu akan cenderung menutup diri dari ilmu-ilmu baru yang bisa dipelajari dari ideologi lain.
Hal ini karena sudah menganggap ideologinya paling ideal. Paling benar.
Tidak masalah sebenarnya berpikir demikian, tapi ketika pemikiran itu membatasi seseorang untuk tidak mau tahu tentang orang lain, merugikan orang lain, bahkan menyakiti orang lain
Bagi saya itu masalah lain yang timbul atas diri anda dan ideologi yang anda sayang-sayang.

Lantas saya ini apa?
Saya juga tidak tahu.
Yang jelas saya masih belajar.
Meskipun saya jelas memiliki nilai mengenai salah dan benar menurut saya sendiri.
Contohnya kekerasan bagi saya salah, memaksakan kehendak pun demikian.
Kemiskinan, diskriminasi, pembatasan akses yang setara bagi saya masalah.
Hal-hal mendasar tersebut yang bagi saya menuntun saya menjadi saya yang sekarang.
Terlepas dari ideologi atau label-label yang orang-orang lekatkan dengan saya.


Akhirnya saya pun menemukan kutipan Soe Hok Gie yang rasanya sejalan dengan apa yang saya rasakan :

“Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka” 

Tuesday 2 December 2014

The Great B

Rasanya lama sekali nggak baca buku.

Baca buku di sini maksudnya buku-buku diluar buku teori dan tugas-tugas kuliah.
Oleh karena itu sebulan terakhir ini saya jadi rajin cari-cari buku bagus untuk dibeli--dan dibaca tentunya.
Beberapa buku saya beli di toko buku dan beberapa lainnya saya sengaja beli online karena memang lagi cari cetakan tertentu atau sudah nggak dijual di toko buku. 

Beberapa buku yang saya beli sebulan terakhir

The Great Gatsby adalah salah satu buku yang sudah selesai saya baca.

Awalnya saya penasaran sekali dengan beberapa buku klasik yang dipajang di salah satu toko buku.
Harganya yang termasuk murah (Rp 50.000 untuk satu buku klasik impor) bikin saya agak bingung juga untuk memilih buku yang akan saya beli.
The Great Gatsby akhirnya saya pilih karena salah seorang teman pernah bercerita tentang banyaknya intrik di dalam kisah si tokoh Gatsby ini.
Karena merupakan karya klasik, cukup banyak kata-kata yang harus saya coba tebak maksudnya. Tapi menyenangkan sekali karena The Great Gatsby menjadi tulisan yang turut memperkaya pembacanya tentang budaya Amerika di tahun 1920-an. Baik dari penggunaan bahasanya maupun setting tempat yang setelah saya cari tahu ternyata memang benar ada di masa si penulis hidup. 
Dengan baik hatinya, buku terbitan Williams Collin ini juga menyertakan latar belakang hidup si penulis yakni F. Scott Fitzgerald yang sejujurnya nggak jauh tragisnya dari kisah yang ia tuliskan. Sejarah sosial budaya masa itu dipaparkan di pendahuluan supaya pembaca lebih memahami ketika mulai membacanya. Kamus mini tentang kata-kata di tulisan klasik dapat ditemukan di bagian belakang buku.
Untuk yang sudah pernah nonton filmnya pasti tau bagaimana kisah Gatsby dan ambisinya mendapatkan mantan kekasihnya kembali. Saya pun nggak akan repot-repot mencari celah dari bagaimana Fitzgerald menuturkan kisah ini. Well, clasic is clasic because there's something about it.

Menariknya, buku selanjutnya yang saya baca kemudian mengingatkan kembali pada The Great Gatsby.

Perempuan Bernama Arjuna karya Remy Sylado. Saya beli ketika sebenarnya saya sedang tidak ingin membeli buku. Niat awal hanya menemani kawan yang mencari card holder dan berakhir pada saya yang belanja lebih banyak. Penyakit yang nggak pernah sembuh dari dulu. 
Dan tanda di sampul buku yang menunjukkan bahwa ini bukan bacaan ringan memang terbukti sepesekian detik setelah saya selesai membaca paragraf pertama.
Filsafat yang dikemas dalam fiksi.
Tokoh sentral adalah Arjuna, perempuan yang sedang melanjutkan studinya tentang teologi di Belanda.
Ketika Pada awal buku saya menemukan satu kutipan yang kembali mengingatkan saya pada tokoh Gatsby.
Perempuan Bernama Arjuna, Remy Sylado

Tidak ada yang abadi terkecuali ambisi.
Ambisi ini juga yang pada akhirnya menjadi awal bagi berakhirnya kisah tokoh Gatsby. Apa yang Gatsby rasakan dan kemudian mempengaruhi bagaimana ia bertindak bagi saya adalah cerminan dari sebuah ambisi. Ambisi memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membuat seseorang mencapai apa yang diinginkankannya. Pun dengan Gatsby. Hanya dalam waktu beberapa tahun ia mampu berlari menaiki anak-anak tangga abstrak yang membatasi dirinya hidup bersama kekasih impian.
Abstrak karena hanya ada di dalam pikiran orang-orang.
Namun, nyata karena sedemikian mempengaruhi seseorang memperlakukan orang lain dari lantai yang berbeda dengan dirinya.
Kekuatan yang sama pula yang pada akhirnya menghancurkan Gatsby pada akhir kisahnya.

November

Selalu menjadi bulan yang tidak pernah saya perkirakan terjadi hal-hal besar dalam hidup saya.
Setelah hampir 10 tahun pun akhirnya saya dihadapkan dengan pembicaraan mengenai apa yang saya tahu tetapi saya memilih untuk tidak terlalu terlibat di dalamnya.
Ambisi-ambisi orang lain untuk memiliki kebahagiaan rasanya lekat dengan ego masing-masing dalam mendefinisikannya.
Ketika pemahaman orang lain berbeda dengan apa yang dimiliki, mereka bukan lagi sumber dari kebahagiaan yang dicari.
Padahal sekali lagi, menjadikan orang lain sebagai sumber kebahagiaan tidaklah berlangsung abadi.
Maka pada November ini, saya pun memilih untuk mengikuti apa yang saya rasa benar untuk jalani.
Tidak lagi mengatakan "Iya" agar menyimpan ruang orang lain tetap di sisi.
Setidaknya ketika yang lain pergi, saya tidak akan kehilangan diri saya sendiri.