Saturday, 13 December 2014

"Dude, your perspective on life sucks!"

Judul di atas adalah potongan monolog di awal lagu "Blame It on The Girls" yang dinyanyikan oleh Mika.
Nggak akan saya bahas judul lagunya karena inti dari posting kali ini bukan tentang itu.
Berawal dari ajakan seorang teman untuk ikut menjadi relawan di salah satu daerah bencana, saya jadi banyak belajar mengenai perspektif dari pengalaman yang saya dapat di minggu ini.
Bukan. Bukan belajar mengenai bagaimana menjadi relawan yang baik, hectic-nya persiapan, kondisi sosial di penampungan, atau arti upaya saling membantu diantara umat manusia karena pada akhirnya saya juga nggak jadi berangkat ke sana.
Kenapa nggak jadi? Nggak akan saya bahas juga. Hihihi nanti kepanjangan.

Pada intinya saya diajak gabung ketika H-3 keberangkatan teman-teman ke daerah bencana yang dijanjikan panitia.
Saya ikut meeting dan ketemu beberapa orang dari berbagai latar belakang seperti jurnalis, praktisi, fotografer, dan mahasiswa.
Saya yang nggak tau apa-apa ini jadi diem aja di sana dan lebih banyak mendengarkan.
Sebelumnya saya sempat mengirim CV ke panitia untuk kelengkapan data pribadi.
Nah, mulailah salah satu orang menunjuk-nunjuk saya dan menghubungkan saya dengan komunitas yang pernah mengadakan pelatihan menulis dan berpikir kreatif yang dulu saya ikuti.
Saya pikir, Oh mungkin tahu dari CV saya. 
Saya cuma ketawa-ketiwi mereka ngomong ini-itu dan salah satu yang saya ingat adalah celetukan tentang komunitas tersebut salah arah dan saya adalah korban dari kesalaharahan yang diajarkan.
Saat itu saya masih ketawa-ketiwi. Lucu. Dan masih ingin mendengarkan.

Lalu ngobrol-ngobrol lagi dan saya yang duduk di paling pinggir seolah diajak bicara--padahal saya nggak denger dan lagi makan--dan mereka pun merespon dengan menghubungkan saya dengan institusi tempat saya magang dulu.
Ah yaudah kamu kan orang **** pasti pernah
Kutipan di atas adalah kira-kira pada intinya mereka berkata demikian. Saya juga nggak ngedengerin amat. Tapi kalau nggak salah mereka sedang membahas pekerjaan yang akan dilakukan ketika telah berada di daerah bencana nantinya.

Setelah makan, foto-foto, dan dikasih tau ini-itu persiapan pergi, kami pun pulang.
Beberapa ingin melanjutkan diskusi materi program di daerah bencana yang akan diberikan.
Tapi saya menolak bergabung karena besoknya masih hari kerja.
Seseorang menanyakan dimana saya bekerja.
Setelah saya jawab ia lantas mengatakan bahwa metode yang digunakan kantor saya tidak disertai argumen yang jelas cara pengumpulan datanya dan dasar argumennya cenderung dibelokkan ke arah keagamaan.
Ia juga menghubungkan saya dengan salah satu kandidat calon presiden di Pilpres lalu karena saya bekerja di kantor yang kata dia turut memenangkan salah satu kandidat.
Saya nggak paham. Dan saya rasa nggak begitu. Saya diem aja ketawa-ketawa mendengarkan.
Di sesi foto sebelumnya sempat ada joke bahwa pendukung salah satu kandidat presiden juga nggak boleh ikutan foto bersama.
Tambah nggak paham.

Setelah malam itu saya mulai mencari tahu tentang kenapa mereka mengatakan komunitas tertentu tersebut salah arah. Saya baca halaman yang pernah di-share senior saya yang mengutip bahwa dua lembaga--termasuk salah satunya komunitas yang saya maksud--adalah lembaga sampah.
Saya paham sedikit-sedikit bahwa intinya adalah pemikiran orang yang mengatakan demikian dan pendiri lembaga-lembaga tersebut berbeda.
Saya mulai mencari lagi tentang apa itu ideologi dan secara lebih khusus sosialis komunis dan liberalisme.
Setelah tanya sana-sini akhirnya saya paham apa yang diperdebatkan.
Perbedaan ideologi yang pada akhirnya memengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan menilai orang lain.
Bahkan dalam versi radikalnya memusuhi, menyakiti, menghancurkan, dan terakhir yang sering kita lihat akhir-akhir ini adalah membumihanguskan.

Hal yang membuat saya bingung adalah bagaimana seseorang dapat dengan mudah melabel dirinya sendiri bahkan orang lain dengan ideologi tertentu.
Okelah kalau orang lain tersebut memang terang-terangan dari sumsum tulangnya menyetujui dan mengamini sampai di setiap aliran darahnya suatu ideologi.
Nah kalau orang macam saya?
Saya yang bahkan harus tanya dan cari sana-sini tentang dasar ideologi sudah diidentikkan dengan ideologi tertentu dalam satu pertemuan?
Lucu.

Hanya karena saya mengikuti suatu acara yang dibuat suatu komunitas tertentu, pernah bekerja di tempat tertentu, berteman dengan orang tertentu lantas saya identik dengan ideologi mereka?
Saya rasa perlu dipikirkan lagi.
Bagi saya, saya hanya ingin belajar. Baik ideologi A, perspektif B, paham C yang dimiliki oleh orang-orang yang saya kenal.
Saya tidak lantas mengamini dengan mata tertutup hal-hal tersebut.
Saya sendiri tidak melabelkan suatu ideologi pada diri saya.
Kalau orang lain memberikan label tersebut ya terserah, saya tidak masalah.
Karena pada dasarnya ketika seseorang diberikan label sesuatu, saya pikir kebebasan yang dimilikinya pun akan terkurung.
Yang paling utama adalah kebebasan untuk banyak belajar lagi.
Pengalaman saya, orang-orang yang telah melabelkan dirinya dengan ideologi tertentu akan cenderung menutup diri dari ilmu-ilmu baru yang bisa dipelajari dari ideologi lain.
Hal ini karena sudah menganggap ideologinya paling ideal. Paling benar.
Tidak masalah sebenarnya berpikir demikian, tapi ketika pemikiran itu membatasi seseorang untuk tidak mau tahu tentang orang lain, merugikan orang lain, bahkan menyakiti orang lain
Bagi saya itu masalah lain yang timbul atas diri anda dan ideologi yang anda sayang-sayang.

Lantas saya ini apa?
Saya juga tidak tahu.
Yang jelas saya masih belajar.
Meskipun saya jelas memiliki nilai mengenai salah dan benar menurut saya sendiri.
Contohnya kekerasan bagi saya salah, memaksakan kehendak pun demikian.
Kemiskinan, diskriminasi, pembatasan akses yang setara bagi saya masalah.
Hal-hal mendasar tersebut yang bagi saya menuntun saya menjadi saya yang sekarang.
Terlepas dari ideologi atau label-label yang orang-orang lekatkan dengan saya.


Akhirnya saya pun menemukan kutipan Soe Hok Gie yang rasanya sejalan dengan apa yang saya rasakan :

“Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka”