Wednesday, 8 October 2014

Berkereta

Hari ini saya sudah ada janji dengan salah satu teman untuk berkunjung ke Planetarium di kompleks Taman Ismail Marzuki. Asti, teman saya, beberapa hari sebelumnya sudah mengajak saya ke sana untuk melihat gerhana bulan total yang (katanya Kompas) puncaknya terjadi di sekitar pukul 17.24-18.24 WIB. Di Planetarium nanti, kami bisa melihat lebih jelas proses gerhana bulan melalui teropong yang disediakan untuk pengunjung. Jadilah saya mengiyakan ajakan Asti karena memang belum pernah menyaksikan gerhana bulan total melalui teropong bintang.

Sepulang kerja saya pun langsung beres-beres dan bersiap menuju stasiun kereta. Saya menunggu kereta yang Asti naiki datang supaya kami bisa sama-sama jalan dari Stasiun Cikini ke TIM. Setelah lama nggak ketemu, saya dan Asti ngobrol sana-sini tentang kegiatan masing-masing, kerjaan masing-masing, kerjaan orang-orang, dan kerjaan yang diimpikan. Obrolan yang sering ditemukan pada manusia-manusia yang baru saja meletakkan toga bekas pakai wisuda. Efek toga memang rasanya hanya ada ketika perayaannya, konfeti-konfeti yang ada meninggalkan tanda tanya mengenai apa yang akan dilakukan setelahnya. Mencoba menyejajarkan garis lurus idealisme dan realitas. Nggak pernah ketemu ? Tapi sejajar ?

Yah intinya kami pun sampai di TIM sekitar pukul 18.00 WIB. Tyas dan seorang temannya sudah sampai lebih dulu di sana. Saya dan Asti diberitahu bahwa gerhana bulan tidak dapat dilihat karena cuaca yang sedang mendung dan gerhananya tertutup awan. Jadilah kami hanya melihat dari proyektor di lantai bawah bagaimana kondisi gerhana bulan (live dari Planetarium di ujung bumi lain). Setelah lihat-lihat sebentar, akhirnya saya dan Asti memilih untuk mencari makan di sekitar TIM.  Saya dan Asti memesan sate padang dan es kelapa.Tyas dan temannya menonton film di bioskop yang masih di kompleks TIM.

Nah, inti ceritanya baru mulai dari sini. Saya dan Asti pada akhirnya, mau tidak mau, membicarakan tentang apa yang sedang terjadi negeri kami tercinta ini. Pemilihan legislatif dan presiden yang kami jalani sebagai suatu proses menjadi bangsa, yang katanya demokratis, sampai detik ini masih saja belum kadaluarsa untuk dibicarakan. Efeknya kemana-mana, marahnya nggak selesai-selesai, dan beberapa pemimpin terpilih kami hatinya nggak dipakai-pakai. Saya pun sempat nyeletuk, "Makanya gue benci politik!". Asti yang mendengarnya langsung mengeluarkan henpon dan menunjukkan quotes (oleh saya lupa siapa) yang isinya jika kita ingin mengakhiri kemiskinan, pelacuran, dll caranya adalah dengan berpolitik. Orang yang mengatakan tidak ingin berpolitik adalah orang yang tidak mau peduli dengan kondisi marginal dan rentan beberapa kelompok yang tidak terlihat. Saya pun teringat ketika menjadi notulen dalam sesi pemberian pemahaman politik pada pekerja migran, fasilitator mengemukakan bahwa peserta di sana tidak boleh selalu melekatkan politik dengan sesuatu yang buruk. Politik adalah alat untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan yang selama ini tidak terwujudkan, sehingga mengakibatkan banyak perempuan berada dalam kondisi miskin tanpa pilihan. Berpolitik memungkinkan perempuan menyuarakan apa yang ia perjuangkan hingga terdengar oleh berbagai lapisan. Sampai pada detik itu saya masih tidak paham. Menganggap politik sebagai hal yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan, malah menambah masalah yang ada karena benturan kepentingan.

Hingga pada saat saya pulang, saya pun menyaksikan hal yang membuat saya berpikir apakah benar politik itu penting. Sekitar pukul 20.00 WIB saya bergegas menaiki KRL jurusan Bogor dari Stasiun Cikini. Semua kursi terisi penuh, saya menyandarkan pinggang pada rangka besi disebelah tempat duduk prioritas. Saya melihat masih ada ruang untuk satu orang di salah satu bagian kereta yang pada akhirnya saya abaikan dan memilih untuk tetap berdiri. Beberapa stasiun berlalu dan orang-orang pun masuk-keluar. Di salah satu stasiun, seorang ibu yang sedang hamil masuk dan mencari tempat duduk kosong. Kala itu tempat duduk prioritas telah penuh dengan ibu-ibu sepuh dan ibu hamil lainnya. Meminta duduk di tempat selain prioritas agaknya akan sulit sehingga petugas pun meminta ibu hamil tersebut menuju gerbong biasa di sebelah gerbong khusus perempuan yang saya naiki. Beberapa saat selanjutnya seorang ibu sepuh masuk dan petugas pun meminta ibu-ibu di tempat duduk prioritas membagi tempat duduk pada ibu sepuh tersebut sehingga dapat duduk. Lagi-lagi tidak semua orang di gerbong tersebut mau bertukar tempat duduk dengan yang lain. Saya pun berpikir. Apakah ini adalah gambaran mudah dari politik? Jika saya memiliki kuasa yang dalam hal ini merupakan tempat duduk, saya akan dapat dengan mudah memberikan ibu sepuh atau ibu hamil tadi tempat duduk saya. Tapi dari awal saya memilih untuk berdiri, yang membuat saya tidak mempunyai daya untuk memberikan tempat duduk. Begitu pulakah dengan politik? Jika seseorang memiliki akses atas kuasa, maka akan dengan mudah dapat memperjuangkan kepentingan orang-orang yang ia bawa. Kalau memang begitu, maka politik tidak seburuk apa yang ada dipikiran saya. Politik kemudian dapat menjadi jalan untuk memberdayakan. Bukankah dengan demikian kita akan bahagia? Kesejahteraan yang disebutkan dalam sila kelima pun dapat diwujudkan.

Saya langsung mencari kontak Asti di henpon dan menceritakan apa yang saya pikirkan di atas. Apakah benar politik adalah demikian dan mempunyai daya untuk menyejahterakan. Namun pada beberapa kalimat terakhir saya menambahkan apa yang baru-baru saja saya pikirkan. Jika saja saya dalam gerbong tersebut sedang dalam kondisi duduk. Ibu sepuh dan ibu hamil memasuki gerbong saya. Apakah saya yang sedang duduk pasti akan memberikan tempat duduk saya kepada mereka? Kalimat terakhir pesan singkat yang saya kirimkan ke Asti pun jadinya seperti ini,
".... Hmm tapi gue takut ketika nantinya gue dapet tempat duduk gue akan lupa sama apa yang gue pelajari hari ini. That's why I hate politician. ...".
 Ya. Saya takut lupa. Lupa rasanya berdiri melihat ibu sepuh dan ibu hamil sulit mendapatkan tempat duduk, ketika saya pada akhirnya adalah orang yang sedang duduk diantara para penumpang lainnya.

Asti yang sedang dalam perjalanan pulangnya pun mengatakan bahwa memang kita mudah lupa. Tapi hebatnya, dia masih percaya bahwa masih banyak orang-orang tulus di luar sana yang sedang duduk (pada apapun jenis kursi mereka), yang akan dengan senang hati berdiri untuk kepentingan orang-orang seperti ibu sepuh dan ibu hamil agar mereka dapat menikmati perjalanan berkebangsaan.

Saya pun mengamini dalam hati. Tidak ada salahnya mencoba percaya lagi.