Friday, 16 January 2015

Belajar ASI Lewat Fiksi - Resensi Novel "Friends Don't Kiss"*

Hi, there!
Saya kembali dengan satu buku yang baru selesai saya baca hari ini. Jangan bosan-bosan karena sepertinya dua bulan ini isi blog saya akan lebih banyak me-review buku yang saya baca atau film yang saya tonton. Nah, buku yang akan saya bahas kali ini adalah fiksi Metropop yang berjudul Friends Don't Kiss. Berikut penampakan sampul depan dan identitas bukunya (untuk sinopsis bisa langsung cek di situs GPU ya) :

Sumber: Dok. Pribadi

Penulis                          : Syafrina Siregar
Penerbit                         : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit                  : 2014
Jumlah halaman            : 208 halaman
Harga                            : Rp 45.000


Buku ini berisi kisah Mia dan kegiatan sehari-harinya sebagai anggota di sebuah organisasi nirlaba bernama Indonesian Breastfeeding Mothers. Dari nama organisasinya saja, bisa ditebak bahwa Mia adalah seorang penggiat pada isu pentingnya pemberian ASI eksklusif untuk bayi, lebih tepatnya seorang konselor laktasi. Banyak diceritakan bagaimana Mia mencoba mendampingi ibu yang kebingungan memberikan ASI untuk anaknya yang baru lahir. Tidak selalu berhasil karena Mia sendiri pun belum menikah ataupun melewati proses hamil, melahirkan, dan menyusui. Kisah ini mulai berkembang ketika adik Mia, yaitu Lia, menjalani proses persalinan dan dilema dalam menentukan pemberian ASI eksklusif atau susu formula pada bayinya. Kecerobohan Mia yang belum fasih benar dalam memarkirkan mobil pada akhirnya mempertemukan dia dengan Ryan, pemilik perusahaan susu formula ternama di Indonesia yang memikat hati Mia sejak kencan pertama mereka. Tidak berhenti sampai disitu, hubungan Mia dan Lia serta Mia dan Ryan pada akhirnya terbentur pada idealisme Mia yang selama ini menggerakkannya di isu yang ia perjuangkan: pentingnya pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayi mereka. 

Nah, kita mulai bahas dari judul dan sampul depannya, ya. Awalnya saya nggak menyangka kalau buku ini akan banyak membahas mengenai isu pemberian ASI ekslusif yang selama ini seringnya saya baca di koran atau lihat di televisi. Dilihat dari judulnya saja, saya pikir buku ini akan membahas mengenai dua orang sahabat yang terjebak friendzone atau sesuatu semacamnya. Jadi ya, judul agak mengecoh tema cerita walaupun setelah saya baca memang ada hubungannya dengan isi cerita yang membahas tentang Mia dan Ryan. Untuk sampul depan, saya bisa katakan bahwa saya suka sekali dengan sampul yang sederhana dan pemilihan warna yang enak dilihat mata. Well, you can never go wrong with pastels! Kalau diperhatikan, di sampul depan juga ada simbol ibu menyusui yang menjelaskan tema buku ini.

Tema yang diangkat sebenarnya menarik dan jarang ditemukan untuk sebuah karya fiksi. Pada aspek ini saya acungi jempol pada penulisnya. Apalagi, Mbak Nana (sapaan untuk penulisnya) menuliskan buku ini sekaligus untuk memberikan informasi mengenai isu ASI eksklusif bagi para pembacanya. Cara yang pintar dalam melakukan sosialisasi. Masalah utamanya kemudian adalah bagaimana mengemas tema yang cukup "berat" ini supaya tidak terkesan seperti buku-buku panduan menyusui yang jelas tidak berada pada rak buku Metropop apalagi fiksi. Setelah saya membaca hingga selesai, ternyata benar, buku ini masih belum dengan "halus" dalam segi pengemasan tema dan jalan cerita. Pada akhirnya yang saya dapatkan adalah informasi seputar ASI eksklusif yang setengah-setengah dan perkembangan kisah cinta Mia dan Ryan yang agak nggak masuk akal. 

Membaca buku ini dari satu bab ke bab lainnya dan pada akhirnya berhenti di akhir cerita rasanya selalu menyisakan pikiran Ah, ada yang kurang. Saya nggak tahu apa, tapi rasanya ada yang kurang pas dalam cara penyajian novel ini. Setelah saya pikir-pikir, ternyata kembali lagi ke masalah kurang mengalir dan halusnya penulis dalam membangun cerita. Saya masih menebak-nebak, bahkan ketika telah menyelesaikan 3/4 buku, apakah bengkel yang didatangi Ryan adalah milik Mia. Saya bingung dengan kenapa tiba-tiba Mia meninggalkan bioskop dan marah sejadi-jadinya pada Ryan padahal ia tidak menolak ketika diajak bahkan hingga duduk di bangku mereka. Bagaimana Mia menganggap Ryan berprofesi sebagai pesulap dan kunci apa yang dipakai Ryan untuk masuk ke apartemen Mia masih menyisakan tanda tanya. Pengetahuan dan idealisme Mia tidak sejalan dengan cara berpikirnya yang menganggap Ryan seorang pesulap bagi saya. Rasanya seperti ada yang tidak pas saja.

Tokoh-tokoh di buku ini menurut saya juga kurang digambarkan secara lugas dan dalam. Misalnya saja alasan Mia berhenti menjadi sekretaris dan berubah menjadi konselor laktasi. Idealisme yang digambarkan dimiliki Mia--hingga ia sedemikian merasa bersalah tidak menemani proses melahirkan adiknya dan menolak menikahi pengusaha kaya yang dicintainya--bagi saya harus memiliki dasar yang cukup. Sudah dijelaskan memang bagaimana Mia pada awalnya merasa takjub melihat seorang ibu yang menyusui anaknya sehingga ia tertarik dengan isu ini. Namun bagi saya, untuk memiliki idealisme seperti demikian perlu dibangun penokohan yang kuat misalnya dari pengalaman pribadi keluarga Mia hingga membuatnya menjadi penggiat isu tersebut. Tokoh Ryan yang digambarkan begitu arogan dan dapat memimpin perusahaan dengan laba fantastis di usia muda malah di akhir cerita menjadi terlalu risk taker dengan apa yang dilakukannya untuk mendapatkan Mia kembali. Tokoh ayah Ryan yang muncul tiba-tiba dan seakan masa bodoh dengan apa yang dilakukan anaknya seperti tempelan agar terdapat alasan Ryan mengorbankan begitu banyak hal untuk Mia. Yang bagi saya agak nggak masuk akal, baik Ryan ataupun ayahnya.

Beberapa kesalahan penulisan dan logika kalimat yang kurang nyambung masih saya temui dalam aspek teknis buku ini. Namun, untuk gaya bahasa cukup enak untuk dibaca dan nggak perlu terlalu mikir meskipun tema yang diangkat membuat novel ini melibatkan sedikit bahasa medis. Ilmu mengenai mengapa ASI lebih baik daripada susu formula, fakta tentang mitos menyusui membuat payudara perempuan kendur, dan tantangan sebuah organisasi nirlaba mengampanyekan suatu isu cukup menyenangkan untuk diketahui dan merupakan bagian kesukaan saya ketika membaca buku ini. Profesi konselor laktasi yang dijalani Mia dan kawan-kawan merupakan hal baru bagi saya dan digambarkan dengan cukup baik dalam buku ini. Salah satu kutipan yang paling membekas tentang seorang konselor laktasi diungkapkan oleh Lia, adik Mia, seperti berikut :
".... Tapi bantu gue dengan berdiri di sebelah gue, bukan di depan gue." (hal. 135).
Tahu bagaimana menempatkan diri menjadi poin penting sebagai seorang konselor laktasi dan sepertinya itu yang ingin disampaikan dalam penyelesaian konflik Mia dan Lia. Kutipan ini juga terasa lebih mengena karena yang mengucapkannya adalah Lia, yang memang baru saja melahirkan anaknya. Namanya juga konselor, selain ilmu yang dibutuhkan untuk dibagi, saya rasa yang terpenting adalah telinga untuk mendengar, hehehe. Buku ini pun mengingatkan saya pada sepupu saya yang baru saja melahirkan. Sepertinya cocok diberikan untuk kado seorang ibu baru!



*Diikutsertakan dalam Lomba Resensi Novel Friends Don't Kiss.