Seorang paman saya adalah yang terbaik pada masanya
cerdas luar biasa, hampir tanpa cela
berpendidikan di dua perguruan sekaligus membuatnya berpendar lebih dari seharusnya
ia menggambar, hampir dimana-mana
lipatan buku sebagai tandapun bisa ia gunakan untuk membentuk garis-garis lurus berpola dan menjadikannya ruangan segi empat sempurna
ia yang mengajarkan pada tahun-tahun pertama saya permainan catur lengkap dengan segala triknya
menemani saya membentuk pola buah di buku bergambar khas anak TK
mengelilingi jalan-jalan kota bersama sepedanya dengan saya membonceng di bagian depan adalah penggalan tua yang saya ingat tentangnya
tapi kemampuan melebihi rata-rata selalu diimbangi dengan kerapuhan
beberapa tokoh yg saya kenal dengan latar seperti dirinya ada yg mampu mengatasi ketidakmenyenangkannya dunia dengan beralih ke seni atau bagaimana
menjadi maestro dengan pemikiran tanpa diduga, besar dengan karya
tapi ia lain, entah karena Tuhan atau ia yg tidak mampu menghadapi sesakan
jalan beralas potongan kaca besar yang ia dapatkan, hingga sekarang
ketidakadaan eyang saya (dapat bibaca di sini) menjadikan berkali lipat beban bahunya
ia mulai meracau, omongannya tak lagi tersusun cerdas seperti sediakala
ia berhenti mengelilingi kota dengan sepeda, ia hanya berjalan tanpa alas dengan tujuan seadanya
rambut hitamnya kusut memutih
setiap senja ibu menemukan luka, tanda orang-orang tak berpena hatinya telah memberikan pukulan-pukulan entah apa
ia gagal? Begitukah menurut kalian?
Tidak, meski ia tidak berhasil menjadi maestro kelas dunia, namun menurut saya ia mendapatkan kebebasan yang hampir semua orang hanya dapat lihat di jendela kaca berbatas hampa
kebebasan pikiran di dunia tanpa beban kehidupan
cara lain untuk memaknai hati yang menghitam